Sabtu, 17 Desember 2016

Sejarah Sesuhunan Di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung



Pada zaman Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Ritme alam mempengaruhi ritme kehidupan mereka. Tari-tarian meraka menirukan gerak-gerak alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin, gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk gerak semacam ini sampai sekarang masih terpelihara dalam Tari Bali. Dalam zaman ini orang tidak saja bergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada kehidupan sepiritual. Kepercayaan mereka kepada Animisme dan Totemisme menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan Trance (kerawuhan), dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Salah satu dari beberapa bentuk tari bali yang bersumber pada kebudayaan Pra-Hindu ialah Sang Hyang.
Tari merupakan ungkapan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Hakikatnya bahwa tari merupakan gerak. Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa : ”Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi dengan  bunyi-bunyian (seperti musik atau gamelan)”. Poerwadarminta, (1976 :1020). Gerak-gerak dari bagian tubuh manusia yang disusun secara indah dan diselaraskan  dengan musik yang mempunyai maksut dan tujuan tertentu disebut dengan seni tari. Selanjutnya dalam buku penddiikan seni tari disebutkan bahwa “seni tari adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluhuran lewat sikap dan gerak. Contoh seni tari salah satunya adalah tari Barong dan Keris. Tarian Barong dan Keris adalah suatu tarian yang menggambarkan pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. ”BARONG” adalah makhluk mithologi yang mewakili kebaikan dan makhluk yang menggambarkan kejahatan adalah “RANGDA”. Dalam tari Barong sangat identik dengan cerita-cerita kehidupan atau sejarah zaman dahulu. Oleh karena itu penulis ingin membagi ilmu pengetahuan seputar sejarah dari Sesuhunan Di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung. Dimana sesuhunan yang terdapat di banjar karang selumbung tersebut merupakan tapel Rangda, yang biasa di sebut dengan Betara dan Betari. 


Didasari dari sebuah hiburan yang ada di tanjung pusatnya di Banjar Karang Selumbung. Pada tahun 1948 akan di adakan Calonarang oleh para truna truni Kerama Pura Puseh Karang Selumbung Di Pura Dalem Tanjung, pada jama itu di Tanjung tidak mempunyai Tapel Rangda maka dari itu Bapak Ida Ketut Bima (alm)  dan Bapak I Wayan Mangku Atur (alm) mempunyai inisaitif untuk membuat Tapel Rangda, sehingga pada waktu itu  kedua tapel itu di buat di Pura Dalem Tanjung. Ida Ketut Bima mengerjakan Rangda dan Seperangkat Tapel Seperti Tapel Sampik, Tapel Jauk Keras, Tapel Topeng Tua di buat oleh Bapak Ida Ketut Bima Sedangkan, Betarinya di kerjakan oleh Bapak I Wayan Mangku Atur di depan Gaduh Pura Dalem Tanjung. Setelah kedua tapel itu selesai di kerjakan, baik tapel rangda maupun tapel betari pada saat  pujawali di pura dalem tanjung Bapak I Wayan Manter Nuur Pedande Gede Wanasari Griye Banjar Pande Cakra Negara tepatnya pada sasih ke Dasa pada saat itu lah Betara (Rangda) dan Betari itu di pasupati dan di pelaspas dalam rangkaian upacaranya sampai 3 hari, selama tiga hari melakukan pekemitan di pura dalem saat itu lah kelihatan lidah dari rangda tersebut ada yang menggoyangkan dan pada saat itu semua masyarakat yang mekemit di pura dalem tanjung tersebut menyaksikan bahwa Rangda (Betara Betari) Itu Hidup. Pada tahun 1954 Pedande Gede Wanasari Mengundang Calonarang dari Bali yang di laksanakan di Pura Dalem Karang Jangkong Calonarang yang dari Bali sudah sangat terkenal, sehingga Padande Gede Wanasari ingi tahu bagaimana besar kekuatan dari tapel rangda yang ada di Tanjung akhirnya pada saat bergiliran memainkan calonarang tersebut Bapak Putu ini yang tidak bisa mesolah atau Menarikan Rangda tersebut Kelinggian atau Di Rasuki oleh Tapel Rangda tersebut dan pada saat itu pula Calonarang yang dari bali mengaku kalah dengan Tapel  Rangda Yang Ada Di Tanjung pada saat itu pula Rangda tersebut mengundang semua orang yang mempunyai Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan.

Betara betari berkaitan dengan gong yang ada di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung, sehingga setiap pujawali di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung para pemedek banjar tersebut mendak Ida Ratu Dalem Sehingga Betara dan Betari ini juga harus tedun karena Ida Ratu Dalem dan Betara Betari Itu adalah satu adanya di ibaratkan bahwa Betara Betari itu adalah sakti dari Ida Ratu Dalem yang ada Di Pura Dalem Tanjung. Pada saat pujawali di Pura Puseh Karang Selumbung para pemedek banjar mendak ida ratu dalem karena di pura puseh yang ada di desa selumbung kecamatan manggis kabupaten karang asem juga setiap pujawali mendak Ida Ratu Dalem yang ada di desa tersebut pada saat itu pula ketua banjar du kerama pura puseh karang selumbung tanjung di beri tahu oleh perbekel dari bali agar selalu mendak ida ratu dalem setiap pujawalinya sehigga sampai sekarang terus di lakukan oleh para pemedek banjar karang selumbung.

Rangda dalam mitologi lainnya juga dipercaya sebagai penjelmaan Dewi Durgha yang bertugas sebagai pemusnah atau pelebur. Ia akan melebur segala sesuatu yang memang sudah digariskan harus dilebur atau dimusnahkan. Ini dapat dilihat dari berbagai simbol yang ada pada Rangda seperti:









Rangda penjelmaan Durgha (pelebur, pemusnah)

v  Lidah Menjulur Panjang Sampai Di Perut – Mempunyai Arti Lapar Yang Terus-Menerus, Yang Selalu Ingin Membunuh Dan Memakan Mangsanya.
v  Lidah Berapi-Api  Adalah– Lambang Pembakaran Tiada Ampun, Segala Yang Masuk Pasti Di Bakar
v  Mata Yang Mendelik Dan Melotot Adalah– Sifat Kemurkaan, Kejam Dan Bengis, Mementingkan Diri Sendiri Dan Tidak Percaya Kekuatan Orang Lain.
v  Taring Yang Panjang AdalahSimbol Kebinatangan Dari Sifat Binatang Buas Dan Penuh Kekejaman
v  LidahLidah Api Yang Terdapat Di Atas Kepala Adalah Simbol Sinar Kesaktian. Ragam Hiasan Lidah-Lidah Api Itu Juga Menyimbolkan Huruf Gaib Yang Bersembunyi OM Yang Mempunyai Kesaktian (I Ketut Ginarsa, 1984:59).
Dalam konteks pementasan tari Bali, Rangda ini sering ditarikan sebagai wujud dari sifat simbol-simbol diatas. Seperti pada pementasan tari Barong dan Rangda, atau tari-tari lainnya yang menunjukkan wujud seram, kemurkaan, atau keraksasaan.
Dalam tari Legong pun ada, yaitu pada Legong Semarandana, dimana ketika Siwa yang pertapaannya diganggu ia murka dan membakar tiada ampun segala sesuatu yang ada di hadapannya. Pada bagian cerita ini salah satu Penari Legong berperan sebagai Siwa yang sedang murka dan berwujud sebagai pemusnah. Penari Legong dalam wujud pelebur ini menari menggunakan Rangda.

Tidak setiap benda berwujud seperti Barong dan Rangda dapat disebut Barong dan Rangda. Hal ini berkaitan dengan ada tidaknya proses sakralisasi melalui upacara. Apabila rangkaian ini tidak ada, dapat saja Barong dan Rangda disebut barong-barongan dan rangda-rangdaan (barong dan rangda imitasi). Proses sakralisasi ini penting karena perwujudan Barong dan Rangda akan menampakkan nilai magisnya sehingga masyarakat merasa dekat secara spiritual.
Walaupun topeng berserta perhiasan / asesoris sudah dipasang, tidak akan dapat memiliki daya magis sebelum mendapatkan upacara Utpeti (penyucian). Proses penyucian ini dilakukan dalam beberapa tingkatan yaitu:
1.  Tingkatan Prayascita dan Mlaspas. Tujuan upacara ini adalah untuk menghapus noda (leteh, papa klesa) baik yang bersifat sekala atau niskala yang ada kayu untuk pembuatan barong dan rangda
2.  Tingkatan Ngatep dan Pasupati. Upacara nganteb adalah upacara penyambungan tapel atau punggelan dengan tumbuhnya atau penyambungan bagian tubuh yang lain seperti gelungan dengan busana yang lain. Dengan upacara ini terjadilah proses utpeti terhadap barong dan rangda dan mulai saat itu dapat di pungsikan sebagai personifikasi dari roh dan kekuatan gaib.
3.  Tingkatan Masuci dan Ngerehin. Ini merupakan tahan terakhir agar barong dan rangda menjadi suci dan keramat. Tujuan upacara ini adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian barong dan rangda mampu menjadi pelindung yang aktif.
Dengan ketiga rangkaian upacara tersebut maka barong dan rangda dapat dikatakan telah suci, keramat, mengandung nilai majis yang beraspek relegius serta berhak menyandang gelar sebagai aspek kekuatan Tuhan dan menjadi objek keagamaan dalam memantapkan nilai rasa bakti umat.
Sebelum ketiga tingkatan upacara di atas dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu :
1.      Menentukan hari baik pembuatan Barong dan Rangda sehingga menjadi barang sakral sangat ditentukan oleh penentuan hari yang baik.
2.      Menentukan jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan topeng Barong dan Rangda. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis.
3.      Pemberian warna. Pemberian warna pada sebuah topeng Barong dan Rangda merupakan suatu hal yang penting karena dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup serta berwibawa serta agung.
4.      Membuat kerangka Barong dan Rangda.
5.      Pemasangan bulu dan asesoris lainnya.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar