Pada zaman
Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam
sekitarnya. Ritme alam mempengaruhi ritme kehidupan mereka. Tari-tarian meraka
menirukan gerak-gerak alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin,
gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk gerak semacam ini
sampai sekarang masih terpelihara dalam Tari Bali. Dalam zaman ini orang tidak
saja bergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada
kehidupan sepiritual. Kepercayaan mereka kepada Animisme dan Totemisme
menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan Trance
(kerawuhan), dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Salah satu
dari beberapa bentuk tari bali yang bersumber pada kebudayaan Pra-Hindu ialah Sang
Hyang.
Tari merupakan
ungkapan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia.
Hakikatnya bahwa tari merupakan gerak. Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia
dinyatakan bahwa : ”Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama
dan biasanya diiringi dengan
bunyi-bunyian (seperti musik atau gamelan)”. Poerwadarminta, (1976
:1020). Gerak-gerak dari bagian tubuh manusia yang disusun secara indah dan
diselaraskan dengan musik yang mempunyai
maksut dan tujuan tertentu disebut dengan seni tari. Selanjutnya dalam buku
penddiikan seni tari disebutkan bahwa “seni tari adalah ungkapan nilai-nilai
keindahan dan keluhuran lewat sikap dan gerak. Contoh seni tari salah satunya
adalah tari Barong dan Keris. Tarian Barong dan Keris adalah suatu tarian yang
menggambarkan pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. ”BARONG” adalah
makhluk mithologi yang mewakili kebaikan dan makhluk yang menggambarkan
kejahatan adalah “RANGDA”. Dalam tari Barong sangat identik dengan
cerita-cerita kehidupan atau sejarah zaman dahulu. Oleh karena itu penulis
ingin membagi ilmu pengetahuan seputar sejarah dari Sesuhunan Di
Kerama Pura Puseh Karang Selumbung.
Dimana sesuhunan yang terdapat di banjar karang selumbung tersebut merupakan
tapel Rangda, yang biasa di sebut dengan Betara dan Betari.
Didasari dari sebuah hiburan yang ada di tanjung pusatnya di Banjar Karang Selumbung. Pada tahun 1948 akan di adakan Calonarang
oleh para truna truni Kerama Pura Puseh Karang Selumbung Di Pura Dalem Tanjung,
pada jama itu di Tanjung tidak mempunyai Tapel Rangda maka dari itu Bapak Ida
Ketut Bima (alm) dan Bapak I Wayan
Mangku Atur (alm) mempunyai inisaitif untuk membuat Tapel Rangda, sehingga pada
waktu itu kedua tapel itu di buat di Pura
Dalem Tanjung. Ida Ketut Bima mengerjakan Rangda dan Seperangkat Tapel Seperti
Tapel Sampik, Tapel Jauk
Keras, Tapel Topeng Tua di
buat oleh Bapak Ida Ketut Bima Sedangkan, Betarinya di kerjakan
oleh Bapak I Wayan Mangku Atur di depan Gaduh
Pura Dalem Tanjung. Setelah
kedua tapel itu selesai di kerjakan,
baik tapel rangda maupun tapel betari pada saat
pujawali di pura dalem tanjung Bapak I Wayan Manter Nuur Pedande Gede
Wanasari Griye Banjar Pande Cakra Negara tepatnya pada sasih ke Dasa pada saat itu lah Betara (Rangda)
dan Betari itu di pasupati dan di pelaspas dalam rangkaian upacaranya sampai 3
hari, selama tiga hari melakukan pekemitan
di pura dalem saat itu lah kelihatan
lidah dari rangda tersebut ada
yang menggoyangkan dan pada saat itu semua masyarakat yang mekemit di pura
dalem tanjung tersebut menyaksikan bahwa Rangda (Betara Betari) Itu Hidup. Pada tahun 1954 Pedande Gede Wanasari Mengundang
Calonarang dari
Bali yang di laksanakan di Pura Dalem Karang Jangkong Calonarang yang dari Bali
sudah sangat terkenal, sehingga Padande Gede Wanasari ingi tahu bagaimana besar
kekuatan dari tapel rangda yang ada di Tanjung akhirnya pada saat bergiliran
memainkan calonarang tersebut Bapak Putu ini yang tidak bisa mesolah atau Menarikan
Rangda tersebut Kelinggian atau Di Rasuki oleh Tapel Rangda tersebut dan pada saat
itu pula Calonarang yang dari bali mengaku kalah dengan Tapel Rangda Yang Ada Di Tanjung pada saat itu pula
Rangda tersebut mengundang semua orang yang mempunyai Ilmu Hitam atau Ilmu
Pengeleakan.
Betara betari berkaitan dengan gong yang
ada di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung,
sehingga setiap pujawali di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung para pemedek
banjar tersebut mendak Ida Ratu Dalem Sehingga Betara dan Betari ini juga harus tedun karena Ida
Ratu Dalem dan Betara Betari Itu adalah satu adanya di ibaratkan bahwa Betara
Betari itu adalah sakti dari Ida Ratu Dalem yang ada Di Pura Dalem Tanjung.
Pada saat pujawali di
Pura
Puseh Karang Selumbung para pemedek banjar mendak ida ratu dalem karena di pura
puseh yang ada di desa selumbung kecamatan manggis kabupaten karang asem juga
setiap pujawali mendak Ida Ratu Dalem yang ada di desa tersebut pada saat itu
pula ketua banjar du kerama pura puseh karang selumbung tanjung di beri tahu
oleh perbekel dari bali agar selalu mendak ida ratu dalem setiap pujawalinya
sehigga sampai sekarang terus di lakukan oleh para pemedek banjar karang
selumbung.
Rangda dalam mitologi lainnya juga
dipercaya sebagai penjelmaan Dewi Durgha yang bertugas sebagai pemusnah atau
pelebur. Ia akan melebur segala sesuatu yang memang sudah digariskan harus
dilebur atau dimusnahkan. Ini dapat dilihat dari berbagai simbol yang ada pada
Rangda seperti:
Rangda
penjelmaan Durgha (pelebur, pemusnah)
v Lidah Menjulur Panjang Sampai Di Perut – Mempunyai Arti Lapar Yang Terus-Menerus, Yang Selalu Ingin Membunuh Dan
Memakan Mangsanya.
v Lidah
Berapi-Api Adalah–
Lambang Pembakaran Tiada Ampun,
Segala Yang Masuk Pasti Di Bakar
v Mata Yang Mendelik Dan
Melotot
Adalah– Sifat Kemurkaan, Kejam Dan Bengis, Mementingkan Diri Sendiri Dan Tidak Percaya Kekuatan
Orang Lain.
v Taring Yang Panjang Adalah–
Simbol Kebinatangan Dari Sifat Binatang Buas Dan Penuh Kekejaman
v Lidah – Lidah Api Yang Terdapat Di Atas Kepala Adalah Simbol Sinar Kesaktian. Ragam Hiasan Lidah-Lidah Api Itu Juga Menyimbolkan
Huruf Gaib Yang Bersembunyi OM Yang
Mempunyai Kesaktian (I Ketut Ginarsa, 1984:59).
Dalam konteks pementasan tari Bali, Rangda ini
sering ditarikan sebagai wujud dari sifat simbol-simbol diatas. Seperti pada
pementasan tari Barong dan Rangda, atau tari-tari lainnya yang menunjukkan
wujud seram, kemurkaan, atau keraksasaan.
Dalam tari Legong pun ada, yaitu pada Legong
Semarandana, dimana ketika Siwa yang pertapaannya diganggu ia murka dan
membakar tiada ampun segala sesuatu yang ada di hadapannya. Pada bagian cerita
ini salah satu Penari Legong berperan sebagai Siwa yang sedang murka dan
berwujud sebagai pemusnah. Penari Legong dalam wujud pelebur ini menari
menggunakan Rangda.
Tidak setiap benda berwujud seperti Barong dan
Rangda dapat disebut Barong dan Rangda. Hal ini berkaitan dengan ada tidaknya
proses sakralisasi melalui upacara. Apabila rangkaian ini tidak ada, dapat saja
Barong dan Rangda disebut barong-barongan dan rangda-rangdaan (barong dan
rangda imitasi). Proses sakralisasi ini penting karena perwujudan Barong dan
Rangda akan menampakkan nilai magisnya sehingga masyarakat merasa dekat secara
spiritual.
Walaupun topeng berserta perhiasan / asesoris sudah
dipasang, tidak akan dapat memiliki daya magis sebelum mendapatkan upacara
Utpeti (penyucian). Proses penyucian ini dilakukan dalam beberapa tingkatan
yaitu:
1. Tingkatan Prayascita dan Mlaspas. Tujuan upacara ini adalah untuk menghapus noda (leteh,
papa klesa) baik yang bersifat sekala atau niskala yang ada kayu untuk
pembuatan barong dan rangda
2. Tingkatan Ngatep dan Pasupati. Upacara nganteb adalah upacara penyambungan tapel atau punggelan dengan tumbuhnya atau penyambungan bagian tubuh yang lain
seperti gelungan dengan busana yang
lain. Dengan upacara ini terjadilah proses utpeti terhadap barong dan rangda
dan mulai saat itu dapat di pungsikan sebagai personifikasi dari roh dan
kekuatan gaib.
3. Tingkatan Masuci dan Ngerehin. Ini merupakan tahan terakhir agar barong dan rangda
menjadi suci dan keramat. Tujuan upacara ini adalah untuk memasukkan kekuatan
gaib dari Tuhan. Dengan demikian barong dan rangda mampu menjadi pelindung yang
aktif.
Dengan ketiga rangkaian upacara tersebut maka barong
dan rangda dapat dikatakan telah suci, keramat, mengandung nilai majis yang
beraspek relegius serta berhak menyandang gelar sebagai aspek kekuatan Tuhan
dan menjadi objek keagamaan dalam memantapkan nilai rasa bakti umat.
Sebelum ketiga tingkatan upacara di atas
dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu :
1. Menentukan
hari baik pembuatan Barong dan Rangda sehingga menjadi barang sakral sangat
ditentukan oleh penentuan hari yang baik.
2. Menentukan
jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan topeng Barong dan Rangda.
Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis.
3. Pemberian
warna. Pemberian warna pada sebuah topeng Barong dan Rangda merupakan suatu hal
yang penting karena dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup
serta berwibawa serta agung.
4. Membuat
kerangka Barong dan Rangda.
5. Pemasangan
bulu dan asesoris lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar