"om swastyastu"
Latar
Belakang
Upakara
memilki kekuatan saling ketergantungan dengan puja, weda, sehe dan atmanastuti,
karena upakara memiliki kekuatan jnana prawrti jnana, jnana dan kedua kekuatan
itu adalah sebagai kekuatan Lingga atau kekuatan bhakti dan sradhanya umat
hindu kehadapan keberadaan sanghyang widhi.
Pembuatan
upakara pada suatu upacara agama, sudah jelas dilihat dulu tattwa agamanya,
agar fungsi dan tujuan dari upacaranya tidak melenceng dari tujuan si
pelaksananya. Salah satu dari upakaranya ada adalah kwangen. Kwangen digunakan
pada saat pelaksanaan panca yajna. Kwangen memiliki lambing sebagai om-kara.
Meskipun bentuknya yang mungil dan terilihat sangat praktis dalam pembuatannnya
namun banyak sekali makna-makna penting yang terkandung di dalam setiap unsur
yang ada didalamnya.
Filosofis
Kwangen
Kwangen berasal dari bahasa jawa
kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran
‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang berfungsi
untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau
dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra”
(Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” adalah huruf suci, singkat dan
mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki
bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman
”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta senantiasa
mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan “Kewangen”
sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik
yang dipuja yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai
simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan
bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat
dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci
sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Dalam Siwagama disebutkan bentuk
Kewangen Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki
ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar
seperti bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun
pisang, plawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga
harum yang ditusuk dengan semat (bilih bambu yang dibelah kecil-kecil).
Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan sisih asih dan pelawa
dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen, bunga-bunga harum, dan
terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi (batang daun kelapa
yang kecil) yang dilipat sehingga mudah ditancapkan.
Kwangen digunakan sebagai sarana
dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara / bebantenan. Kewangen paling
banyak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai
pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.
- Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
- Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
- Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
- Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten.
- Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll
Estetika Kwangen
Keindahan (estetika) hasil dari
kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk
memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi
masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan
keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan
alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan
keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia.
Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika),
hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu
kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam
kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk
”Kwangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika.
”Kwangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kwangen” yang merupakan sarana
dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika).
”Kwangen” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan,
hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman
sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena
itulah ”kwangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan
suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.
- Unsur-unsur keindahan Kwangen
Untuk mewujudkan estetika “kwangen”
diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam
persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika) pada bentuk
“kwangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kwangen
Kojong kwangen dibuat dari daun
pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian
depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti
kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah
untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badan kojong
melambangkan “Suku Tunggal”.
2) Plawa
Plawa adalah sejenis daun-daunan
(cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan
harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan
ketenangan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang
menarik sehingga dapat mendukung estetika “kwangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan
silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadap-hadapan,
ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari
kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga
melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kwangen”.
4) Sampian kwangen
Sampian
kwangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan
bunga-bunga yang harum. Sampian kwangen sebagai simbol “Nada”. Unsur ini
paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kwangen. Sampian kwangen
dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang melambangkan rasa ketulusan
hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga
warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk
(seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kwangen”.
5) Pis bolong
Pis
Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara
keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain
itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau
kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri
yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan
uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kwangen”. Uang kepeng
simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha.
- Doa atau Mantra Kwangen
Doa atau mantra untuk kwangen
biasanya dapat ditemukan di dalam panca sembah yaitu pada bait ketiga atau ke
empat sebagai berikut :
1. Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantram :
“ Om Atma Tattvatma Soddha Mam Svaha.”
Artinya: “
Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.”
2. Menyembah Sanghyang Widhi Wasa
sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantram:
"Om Adityasyaparam Jyoti,
Rakta Tejo Namo’stute,
Svetapankaja Madhyasthah,
Bhaskarayo Namo’stute"
Artinya:
“Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah,
hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat
pada-Mu pembuat sinar.”
3. Menyembah Sanghyang Widhi Wasa
sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Namo Devaya, Adhisthanaya,
Sarva Vyapi Vai Sivaya,
Padmasana Ekapratisthaya,
Ardhanaresvaryai Namo Namah
Svaha "
Artinya: “Om
Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama
kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam
pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari
hamba menghormat.”
4. Menyembah Sanghyang Widhi Wasa
sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Nugrahaka Manohara,
Deva Dattanugrahaka,
Arcanam Sarva Pujanam,
Namah Sarvanugrahaka,
Om Deva Devi Mahasiddhi,
Yajnangga Nirmalatmaka,
Laksmi Siddhisca Dirghayuh
Nirvighna Sukha Vrddhisca."
Artinya: “Om
Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah
pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua
anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci,
kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.”
5. Sembah tanpa bunga (Muyung).
"Om Deva
Suksma Paramacintyaya Namah Svaha."
Artinya:
“Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha
tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan
mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.”
"Om Santih Santih Santih Om"
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar