Selasa, 20 Desember 2016

Filosofi dan Estetika dari Kwangen

"om swastyastu" 
Latar Belakang
            Upakara memilki kekuatan saling ketergantungan dengan puja, weda, sehe dan atmanastuti, karena upakara memiliki kekuatan jnana prawrti jnana, jnana dan kedua kekuatan itu adalah sebagai kekuatan Lingga atau kekuatan bhakti dan sradhanya umat hindu kehadapan keberadaan sanghyang widhi.
            Pembuatan upakara pada suatu upacara agama, sudah jelas dilihat dulu tattwa agamanya, agar fungsi dan tujuan dari upacaranya tidak melenceng dari tujuan si pelaksananya. Salah satu dari upakaranya ada adalah kwangen. Kwangen digunakan pada saat pelaksanaan panca yajna. Kwangen memiliki lambing sebagai om-kara. Meskipun bentuknya yang mungil dan terilihat sangat praktis dalam pembuatannnya namun banyak sekali makna-makna penting yang terkandung di dalam setiap unsur yang ada didalamnya.
Filosofis Kwangen
            Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra”  (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om”  adalah huruf suci, singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Dalam Siwagama disebutkan bentuk Kewangen Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang, plawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum yang ditusuk dengan semat (bilih bambu yang dibelah kecil-kecil). Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen, bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi (batang daun kelapa yang kecil) yang dilipat sehingga mudah ditancapkan.
            Kwangen digunakan sebagai sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara / bebantenan. Kewangen paling banyak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.
  1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
  2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
  3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
  4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten.
  5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll
Estetika Kwangen
            Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk ”Kwangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. ”Kwangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kwangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kwangen” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah ”kwangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.   
  • Unsur-unsur keindahan Kwangen
            Untuk mewujudkan estetika “kwangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika) pada bentuk “kwangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kwangen
            Kojong kwangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badan kojong melambangkan “Suku Tunggal”.
2) Plawa
            Plawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketenangan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat mendukung estetika “kwangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadap-hadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kwangen”.
4) Sampian kwangen
Sampian kwangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kwangen sebagai simbol “Nada”. Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kwangen. Sampian kwangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kwangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kwangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha.
  • Doa atau Mantra Kwangen 
Doa atau mantra untuk kwangen biasanya dapat ditemukan di dalam panca sembah yaitu pada bait ketiga atau ke empat sebagai berikut :
1.      Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantram : “ Om Atma Tattvatma Soddha Mam Svaha.”
Artinya: “ Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.”
2.      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantram:
"Om Adityasyaparam Jyoti,

Rakta Tejo Namo’stute,

Svetapankaja Madhyasthah,

Bhaskarayo Namo’stute"
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.”

3.      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Namo Devaya, Adhisthanaya,
Sarva Vyapi Vai Sivaya,
Padmasana Ekapratisthaya,
Ardhanaresvaryai Namo Namah Svaha "
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.”
4.    Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Nugrahaka Manohara,
Deva Dattanugrahaka,
Arcanam Sarva Pujanam,
Namah Sarvanugrahaka,
Om Deva Devi Mahasiddhi,
Yajnangga Nirmalatmaka,
Laksmi Siddhisca Dirghayuh
Nirvighna Sukha Vrddhisca."
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.”
5.      Sembah tanpa bunga (Muyung).
Mantram:
"Om Deva Suksma Paramacintyaya Namah Svaha."

 Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.”

"Om Santih Santih Santih Om"


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar