Selasa, 27 Desember 2016

Kajeng Kliwon, Sang Tiga Bhucari

Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara (Umanis Pahing Pon Wage Kliwon) dengan Triwara (Pasah Beteng Kajeng) diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna. Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan sekalanya kita selalu berbuat trikaya parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia seimbang.
  • Dyah Maya Kresna rupanya putih kekuning-kuningan menjadi Sang Batur Kalika.
  • Sang Bajradhaksa menjadi bhuta ijo (berwarna hijau/Sang Bhuta Wilis)
  • Sang Bajrangkara menjadi bhuta abang (berwarna merah/Sang Kala Ranta). Itulah yang disebut Durgga Bhucari, Bhuta Bhucari dan Kala Bhucari. Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;
Berwujud manusia
  1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.
  2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.
  3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.
  4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.
  5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.
  6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.
  7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.
Berwujud bagian tubuh manusia
  1. Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.
  2. Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.
  3. Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.
  4. Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.
  5. Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.
Berwujud kerangka manusia
Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.
  1. Berwujud binatang
  2. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.
  3. Banaspati-raja : berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.
Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selaluingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah).
Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.

Sumber: subuduartha, dr. Putu melaya

Rabu, 21 Desember 2016

SEPULUH SIKAP HIDUP BAHAGIA
Oleh : Mahatma Gandhi



1. Lepaskanlah rasa kuatir dan ketakutan
Ketakutan dan kekuatiran hanyalah imajinasi pikiran akan suatu kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. Kebanyakan hal-hal yang kamu kuatirkan dan takutkan tak pernah terjadi!  It's all only in your mind.

2. Buanglah dendam
Dendam dan amarah yang disimpan hanya akan menyedot energi diri kamu dan hanya mendatangkan KELELAHAN JIWA. BUANGLAH!!

3. Berhentilah mengeluh
Mengeluh berarti selalu tak menerima apa yang ada saat ini. Secara tak sadar kamu membawa-bawa beban negatif.

4. Bila ada masalah, selesaikan satu per satu
Hanya inilah cara menangani setiap : Satu demi satu.

5. Tidurlah dengan nyenyak
Semua masalah tak perlu dibawa tidur. Hal tersebut buruk dan tidak sehat. Biasakanlah tidur dengan nyaman.

6. Jauhi urusan orang lain
Biarkan masalah orang lain menjadi urusan mereka sendiri. Mereka memiliki cara sendiri untuk menangani setiap masalahnya.

7. Hiduplah pada saat ini, bukan masa lalu
Nikmati masa lalu sebagai kenangan, jangan tergantung pada nya. Konsentrasilah hidupmu pada kejadian saat ini, karena apa yang kamu miliki adalah saat ini, bukan kemarin, bukan besok.
BE TOTALLY PRESENT

8. Jadilah pendengar yang baik
Saat menjadi pendengar, kamu belajar dan mendapatkan ide-ide baru yang berbeda dari orang lain.

9. Berpikirlah positif
Rasa frustasi datang dari pikiran negatif. Kembalilah berpikir positif.
Bertemanlah dengan orang-orang yang berpikiran positif dan terlibatlah dengan kegiatan-kegiatan positif.

10. Bersyukurlah atas hal-hal kecil yang akan membawa kamu pada hal-hal besar
Sekecil apapun karunia yang kamu terima,
akan menghasilkan hal-hal besar dan selalu membawa Kebahagian saat kita pandai Bersyukur.

Sumber:

Selasa, 20 Desember 2016

Filosofi dan Estetika dari Kwangen

"om swastyastu" 
Latar Belakang
            Upakara memilki kekuatan saling ketergantungan dengan puja, weda, sehe dan atmanastuti, karena upakara memiliki kekuatan jnana prawrti jnana, jnana dan kedua kekuatan itu adalah sebagai kekuatan Lingga atau kekuatan bhakti dan sradhanya umat hindu kehadapan keberadaan sanghyang widhi.
            Pembuatan upakara pada suatu upacara agama, sudah jelas dilihat dulu tattwa agamanya, agar fungsi dan tujuan dari upacaranya tidak melenceng dari tujuan si pelaksananya. Salah satu dari upakaranya ada adalah kwangen. Kwangen digunakan pada saat pelaksanaan panca yajna. Kwangen memiliki lambing sebagai om-kara. Meskipun bentuknya yang mungil dan terilihat sangat praktis dalam pembuatannnya namun banyak sekali makna-makna penting yang terkandung di dalam setiap unsur yang ada didalamnya.
Filosofis Kwangen
            Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra”  (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om”  adalah huruf suci, singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Dalam Siwagama disebutkan bentuk Kewangen Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang, plawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum yang ditusuk dengan semat (bilih bambu yang dibelah kecil-kecil). Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen, bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi (batang daun kelapa yang kecil) yang dilipat sehingga mudah ditancapkan.
            Kwangen digunakan sebagai sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara / bebantenan. Kewangen paling banyak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.
  1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
  2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
  3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
  4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten.
  5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll
Estetika Kwangen
            Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk ”Kwangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. ”Kwangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kwangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kwangen” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah ”kwangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.   
  • Unsur-unsur keindahan Kwangen
            Untuk mewujudkan estetika “kwangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika) pada bentuk “kwangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kwangen
            Kojong kwangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badan kojong melambangkan “Suku Tunggal”.
2) Plawa
            Plawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketenangan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat mendukung estetika “kwangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadap-hadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kwangen”.
4) Sampian kwangen
Sampian kwangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kwangen sebagai simbol “Nada”. Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kwangen. Sampian kwangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kwangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kwangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha.
  • Doa atau Mantra Kwangen 
Doa atau mantra untuk kwangen biasanya dapat ditemukan di dalam panca sembah yaitu pada bait ketiga atau ke empat sebagai berikut :
1.      Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantram : “ Om Atma Tattvatma Soddha Mam Svaha.”
Artinya: “ Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.”
2.      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantram:
"Om Adityasyaparam Jyoti,

Rakta Tejo Namo’stute,

Svetapankaja Madhyasthah,

Bhaskarayo Namo’stute"
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.”

3.      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Namo Devaya, Adhisthanaya,
Sarva Vyapi Vai Sivaya,
Padmasana Ekapratisthaya,
Ardhanaresvaryai Namo Namah Svaha "
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.”
4.    Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Nugrahaka Manohara,
Deva Dattanugrahaka,
Arcanam Sarva Pujanam,
Namah Sarvanugrahaka,
Om Deva Devi Mahasiddhi,
Yajnangga Nirmalatmaka,
Laksmi Siddhisca Dirghayuh
Nirvighna Sukha Vrddhisca."
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.”
5.      Sembah tanpa bunga (Muyung).
Mantram:
"Om Deva Suksma Paramacintyaya Namah Svaha."

 Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.”

"Om Santih Santih Santih Om"


Sumber:

Senin, 19 Desember 2016

Hari Baik untuk Memotong Rambut Menurut Hindu Bali

Di Bali masyarakatnya sangatlah peka terhadap apapun yang ada disekelilingnya, dari hal yang besar sampai hal yang paling kecil sekalipun. Merawat alam adalah pokok ajaran agama Hindu Bali, menjaga keseimbangan sebagai ajaran adi luhung para pendahulu. Terlepas dari merawat bhuana agung atau alam, bagi orang Bali yang identik dengan kesucian, merawat diri tentu saja menjadi pedoman utama, namun dalam hal ini bukan merawat diri dalam artian berhias, selain dengan cara melukat, dalam keseharian bahkan dalam memotong rambut pun orang Bali sangat fanatik dalam memilih hari yang baik untuk memotong rambut.
Entah bagaimana dan sejak kapan hal itu sangat dipercayai dan dipegang teguh oleh kalangan masyarakat sampai saat ini. Rambut adalah mahkota yang harus dirawat secara baik, bukan saja denganshampoo, namun dalam artian juga dirawat dengan kesucian, bagi orang Bali apapun yang posisinya di atas seperti rambut yang keberadaannya di kepala, haruslah dijaga.
Dia menjelaskan, hari yang kalau di Bali disebut dengan saptawara masing-masing dipercayai memiliki pengaruh yang sangat besar dengan kehidupan. Termasuk dengan hari baik yang dipilih untuk memotong rambut, notabene hari yang dipilih kebanyakan orang adalah hari Rabu, hari Rabu adalah harinya Dewa Wisnu, simbol memelihara, memelihara kebaikan, hari Rabu juga identik dengan hari raya besar Hindu seperti Buda Cemeng, Buda Kliwon. Sehingga kebanyakan di saat hari itu tukang cukur di Bali di mana-mana biasanya akan padat pengunjung. Hari yang uripnya besar (pancawara dan saptawaranya), karena jika memotong rambut di hari yang baik, maka akan berpengaruh juga pada kehidupan dan kelancaran rejeki.
Namun selain itu, menurut masyarakat, ada juga hari ataupun dewasa yang dipantangkan untuk memotong rambut, bahkan itu berlaku sampai sebulan lamanya, tepatnya adalah di saat mulai menjelang Galungan sampai setelah Kuningan, atau dikenal masyarakat dengan Nguncal Balung, selama itu masyarakat mengatakan pantang sekali untuk memotong rambut dan juga melaksanakan kegiatan yang tingkatannya besar. Karena dikatakan akan berpengaruh buruk pada yang akan dikerjakan. Nguncal artinya membuang kemudian balung artinya tulang. Nguncal balung, bisa diartikan sesudah penampahan tidak diperbolehkan lagi nampah buron, tidak boleh lagi ada rah.
Dia lalu lanjut menjelaskan, tentang lokal genius yang berkembang di daérah bahwa tidak boleh memotong rambut selama nguncal balung, ditafsirkan rambut dalam konsép Siwa adalah sebagai lambang nafsu, tidak memotong rambut pada saat itu diartikan tidak memotong jalan menuju Hyang Widhi. Beliau lanjut menjelaskan, nafsu itu tidak mesti dihilangkan, namun perlu dikendalikan, itu sebabnya rambut seharusnya di sisir sebelum melaksanakan acara.
Kita tidak tahu menghilangkan hawa nafsu, namun kita mengetahui pengendalian nafsu, karena nafsu itu juga penting sebagai semangat hidup, namun jangan sampai pula nafsu yang menguasai diri, namun kita yang harus menguasai nafsu tersebut  Kemudian jika dikaitkan dengan mengapa di saat matelubulanan dan metatah rambut di potong sedikit, dijelaskannya, itu juga adalah sebagai simbol mengendalikan nafsu, di sanalah dibutuhkan pemaknaan dan kesadaran yang lebih. Simbol dari pengendalian selalu memperhitungkan waktu (kala), kalau kita baik memperhitungkan waktu, maka diharapkan segala kebaikan akan tercapai. 

Sumber: lovepayangan, yhanbalimesari 

Filosofi Banten Pejati

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI
Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:
  1. Daksina
  2. Banten Peras,
  3. Banten Ajuman Rayunan/Sodaan
  4. Ketupat Kelanan
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian
  7. Segehan alit
Sarana yang Lain
  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina terdiri atas:
  1. bakul/serembeng, simbol arda candra
  2. kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
  3. bedogan, simbol swastika
  4. kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
  5. kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
  6. telur bebek simbol windu dan satyam
  7. tampelan, simbol trimurti
  8. irisan pisang, simbol dharma
  9. irisan tebu, simbol smara-ratih
  10. benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
  • Daksina kepada Sanghyang Brahma
  • Peras kepada Sanghyang Isvara
  • Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
  • Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
CARA MEMBUAT
Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :
  1. DAKSINA terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
  2. PERAS : memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
  3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN : memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
  4. TIPAT KELANAN : memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.  


Sumber: Inputbali, Pandesujana, SahabatHindu

Sabtu, 17 Desember 2016

Sejarah Sesuhunan Di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung



Pada zaman Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Ritme alam mempengaruhi ritme kehidupan mereka. Tari-tarian meraka menirukan gerak-gerak alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin, gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk gerak semacam ini sampai sekarang masih terpelihara dalam Tari Bali. Dalam zaman ini orang tidak saja bergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada kehidupan sepiritual. Kepercayaan mereka kepada Animisme dan Totemisme menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan Trance (kerawuhan), dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Salah satu dari beberapa bentuk tari bali yang bersumber pada kebudayaan Pra-Hindu ialah Sang Hyang.
Tari merupakan ungkapan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Hakikatnya bahwa tari merupakan gerak. Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa : ”Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi dengan  bunyi-bunyian (seperti musik atau gamelan)”. Poerwadarminta, (1976 :1020). Gerak-gerak dari bagian tubuh manusia yang disusun secara indah dan diselaraskan  dengan musik yang mempunyai maksut dan tujuan tertentu disebut dengan seni tari. Selanjutnya dalam buku penddiikan seni tari disebutkan bahwa “seni tari adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluhuran lewat sikap dan gerak. Contoh seni tari salah satunya adalah tari Barong dan Keris. Tarian Barong dan Keris adalah suatu tarian yang menggambarkan pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. ”BARONG” adalah makhluk mithologi yang mewakili kebaikan dan makhluk yang menggambarkan kejahatan adalah “RANGDA”. Dalam tari Barong sangat identik dengan cerita-cerita kehidupan atau sejarah zaman dahulu. Oleh karena itu penulis ingin membagi ilmu pengetahuan seputar sejarah dari Sesuhunan Di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung. Dimana sesuhunan yang terdapat di banjar karang selumbung tersebut merupakan tapel Rangda, yang biasa di sebut dengan Betara dan Betari. 


Didasari dari sebuah hiburan yang ada di tanjung pusatnya di Banjar Karang Selumbung. Pada tahun 1948 akan di adakan Calonarang oleh para truna truni Kerama Pura Puseh Karang Selumbung Di Pura Dalem Tanjung, pada jama itu di Tanjung tidak mempunyai Tapel Rangda maka dari itu Bapak Ida Ketut Bima (alm)  dan Bapak I Wayan Mangku Atur (alm) mempunyai inisaitif untuk membuat Tapel Rangda, sehingga pada waktu itu  kedua tapel itu di buat di Pura Dalem Tanjung. Ida Ketut Bima mengerjakan Rangda dan Seperangkat Tapel Seperti Tapel Sampik, Tapel Jauk Keras, Tapel Topeng Tua di buat oleh Bapak Ida Ketut Bima Sedangkan, Betarinya di kerjakan oleh Bapak I Wayan Mangku Atur di depan Gaduh Pura Dalem Tanjung. Setelah kedua tapel itu selesai di kerjakan, baik tapel rangda maupun tapel betari pada saat  pujawali di pura dalem tanjung Bapak I Wayan Manter Nuur Pedande Gede Wanasari Griye Banjar Pande Cakra Negara tepatnya pada sasih ke Dasa pada saat itu lah Betara (Rangda) dan Betari itu di pasupati dan di pelaspas dalam rangkaian upacaranya sampai 3 hari, selama tiga hari melakukan pekemitan di pura dalem saat itu lah kelihatan lidah dari rangda tersebut ada yang menggoyangkan dan pada saat itu semua masyarakat yang mekemit di pura dalem tanjung tersebut menyaksikan bahwa Rangda (Betara Betari) Itu Hidup. Pada tahun 1954 Pedande Gede Wanasari Mengundang Calonarang dari Bali yang di laksanakan di Pura Dalem Karang Jangkong Calonarang yang dari Bali sudah sangat terkenal, sehingga Padande Gede Wanasari ingi tahu bagaimana besar kekuatan dari tapel rangda yang ada di Tanjung akhirnya pada saat bergiliran memainkan calonarang tersebut Bapak Putu ini yang tidak bisa mesolah atau Menarikan Rangda tersebut Kelinggian atau Di Rasuki oleh Tapel Rangda tersebut dan pada saat itu pula Calonarang yang dari bali mengaku kalah dengan Tapel  Rangda Yang Ada Di Tanjung pada saat itu pula Rangda tersebut mengundang semua orang yang mempunyai Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan.

Betara betari berkaitan dengan gong yang ada di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung, sehingga setiap pujawali di Kerama Pura Puseh Karang Selumbung para pemedek banjar tersebut mendak Ida Ratu Dalem Sehingga Betara dan Betari ini juga harus tedun karena Ida Ratu Dalem dan Betara Betari Itu adalah satu adanya di ibaratkan bahwa Betara Betari itu adalah sakti dari Ida Ratu Dalem yang ada Di Pura Dalem Tanjung. Pada saat pujawali di Pura Puseh Karang Selumbung para pemedek banjar mendak ida ratu dalem karena di pura puseh yang ada di desa selumbung kecamatan manggis kabupaten karang asem juga setiap pujawali mendak Ida Ratu Dalem yang ada di desa tersebut pada saat itu pula ketua banjar du kerama pura puseh karang selumbung tanjung di beri tahu oleh perbekel dari bali agar selalu mendak ida ratu dalem setiap pujawalinya sehigga sampai sekarang terus di lakukan oleh para pemedek banjar karang selumbung.

Rangda dalam mitologi lainnya juga dipercaya sebagai penjelmaan Dewi Durgha yang bertugas sebagai pemusnah atau pelebur. Ia akan melebur segala sesuatu yang memang sudah digariskan harus dilebur atau dimusnahkan. Ini dapat dilihat dari berbagai simbol yang ada pada Rangda seperti:









Rangda penjelmaan Durgha (pelebur, pemusnah)

v  Lidah Menjulur Panjang Sampai Di Perut – Mempunyai Arti Lapar Yang Terus-Menerus, Yang Selalu Ingin Membunuh Dan Memakan Mangsanya.
v  Lidah Berapi-Api  Adalah– Lambang Pembakaran Tiada Ampun, Segala Yang Masuk Pasti Di Bakar
v  Mata Yang Mendelik Dan Melotot Adalah– Sifat Kemurkaan, Kejam Dan Bengis, Mementingkan Diri Sendiri Dan Tidak Percaya Kekuatan Orang Lain.
v  Taring Yang Panjang AdalahSimbol Kebinatangan Dari Sifat Binatang Buas Dan Penuh Kekejaman
v  LidahLidah Api Yang Terdapat Di Atas Kepala Adalah Simbol Sinar Kesaktian. Ragam Hiasan Lidah-Lidah Api Itu Juga Menyimbolkan Huruf Gaib Yang Bersembunyi OM Yang Mempunyai Kesaktian (I Ketut Ginarsa, 1984:59).
Dalam konteks pementasan tari Bali, Rangda ini sering ditarikan sebagai wujud dari sifat simbol-simbol diatas. Seperti pada pementasan tari Barong dan Rangda, atau tari-tari lainnya yang menunjukkan wujud seram, kemurkaan, atau keraksasaan.
Dalam tari Legong pun ada, yaitu pada Legong Semarandana, dimana ketika Siwa yang pertapaannya diganggu ia murka dan membakar tiada ampun segala sesuatu yang ada di hadapannya. Pada bagian cerita ini salah satu Penari Legong berperan sebagai Siwa yang sedang murka dan berwujud sebagai pemusnah. Penari Legong dalam wujud pelebur ini menari menggunakan Rangda.

Tidak setiap benda berwujud seperti Barong dan Rangda dapat disebut Barong dan Rangda. Hal ini berkaitan dengan ada tidaknya proses sakralisasi melalui upacara. Apabila rangkaian ini tidak ada, dapat saja Barong dan Rangda disebut barong-barongan dan rangda-rangdaan (barong dan rangda imitasi). Proses sakralisasi ini penting karena perwujudan Barong dan Rangda akan menampakkan nilai magisnya sehingga masyarakat merasa dekat secara spiritual.
Walaupun topeng berserta perhiasan / asesoris sudah dipasang, tidak akan dapat memiliki daya magis sebelum mendapatkan upacara Utpeti (penyucian). Proses penyucian ini dilakukan dalam beberapa tingkatan yaitu:
1.  Tingkatan Prayascita dan Mlaspas. Tujuan upacara ini adalah untuk menghapus noda (leteh, papa klesa) baik yang bersifat sekala atau niskala yang ada kayu untuk pembuatan barong dan rangda
2.  Tingkatan Ngatep dan Pasupati. Upacara nganteb adalah upacara penyambungan tapel atau punggelan dengan tumbuhnya atau penyambungan bagian tubuh yang lain seperti gelungan dengan busana yang lain. Dengan upacara ini terjadilah proses utpeti terhadap barong dan rangda dan mulai saat itu dapat di pungsikan sebagai personifikasi dari roh dan kekuatan gaib.
3.  Tingkatan Masuci dan Ngerehin. Ini merupakan tahan terakhir agar barong dan rangda menjadi suci dan keramat. Tujuan upacara ini adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian barong dan rangda mampu menjadi pelindung yang aktif.
Dengan ketiga rangkaian upacara tersebut maka barong dan rangda dapat dikatakan telah suci, keramat, mengandung nilai majis yang beraspek relegius serta berhak menyandang gelar sebagai aspek kekuatan Tuhan dan menjadi objek keagamaan dalam memantapkan nilai rasa bakti umat.
Sebelum ketiga tingkatan upacara di atas dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu :
1.      Menentukan hari baik pembuatan Barong dan Rangda sehingga menjadi barang sakral sangat ditentukan oleh penentuan hari yang baik.
2.      Menentukan jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan topeng Barong dan Rangda. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis.
3.      Pemberian warna. Pemberian warna pada sebuah topeng Barong dan Rangda merupakan suatu hal yang penting karena dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup serta berwibawa serta agung.
4.      Membuat kerangka Barong dan Rangda.
5.      Pemasangan bulu dan asesoris lainnya.