Jumat, 01 September 2017

Ada Delapan Jenis Pekarangan Tak Baik, Ini Penjelasan dan Solusinya

Pekarangan merupakan sebidang tanah sebagai tempat mendirikan bangunan di atasnya, khususnya rumah. Bagi masyarakat Bali, selain rumah, pekarangan juga  sebagai tempat membangun merajan dan disisihkan sebagiannya lagi sebagai teba, yakni lahan serba guna. Hal itu berdasarkan konsep tri mandala yang diwariskan oleh Mpu Kuturan.
Menurut Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika, keberadaan budaya bangunan yang diwarisi masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu, tidak bisa dipisahkan dari arsitek besar seperti Kebo Iwa pada zaman Baliaga, Mpu Kuturan pada abad ke-11. Selain juga pengaruh  Dang Hyang Nirartha pada masa pemerintaha Dalem Waturenggong di abad ke-14.
Pinandita Pasek Swastika menjelaskan, sesuai lontar Astha Bhumi dan Astha Kosala-Kosali, pemilihan suatu tempat untuk bangunan sangat penting. “Hal itu akan sangat berpengaruh pada para penghuni bangunan tersebut,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Oleh karena itu, menurutnya sangat penting bagi umat untuk mengetahui dan memahami berbagai macam kategori pekarangan agar bisa mendapatkan manfaat.
Astha Kosala-Kosali dan Astha Bhumi merupakan panduan dalam membuat bangunan atau arsitektur. Salah satu tokoh dewata yang terkenal berkaitan dengan arsitektur adalah Bhagawan Wiswakarma. Oleh karena itu, Bhagawan Wiswakarma menjadi salah satu dewata yang dimohonkan untuk menuntun pembuatan suatu bangunan agar mendatangkan manfaat positif bagi penghuninya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Astha Kosala-Kosali dan Astha Bhumi merupakan ajaran Feng Shui ala Bali. Hal itu wajar saja, mengingat Hindu percaya terhadap energi alam yang berhubungan dengan energdi dalam tubuh manusia yang saling berkaitan. Sehingga, dengan energi yang selaras, kehidupan alam dan manusia akan harmonis.
Sebelum membuat bangunan, tentunya umat harus punya tanah pekarangan. Nah, berkaitan dengan hal itu, Pasek Swastika mengatakan, ada beberapa jenis pekarangan yang berisiko jika dibangun tempat tinggal.
Pertama, disebut Karang Sandang Lawe, yakni pekarangan atau tempat tinggal yang saling berhadap-hadapan di antara dua sisi jalan atau gang. “Bila ditempati oleh satu keluarga kandung akan sangat tidak baik,” ujarnya.
Berita Terkait
Demikian pula pekarangan yang diapit oleh dua pekarangan yang dimiliki oleh satu orang.
Kedua, Karang Teledu Nginyah, yakni pekarangan atau tempat tinggal yang berseberang dalam satu jalan atau gang yang sudut pekarangannya berhadap-hadapan. “Bila ditempati satu keluarga kandung, akan sangat tidak baik pula,” paparnya.
Ketiga, ada pekarangan yang disebut dengan Karang Ngulonin Banjar utawi Pura. Dalam hal ini pekarangan letaknya berdampingan atau berada di bagian hulu bale banjar atau pura. “Juga tidak baik. Jalan keluarnya adalah dengan membuatkan gang kecil di antara dua pekarangan itu,” jelasnya. 
Pria berusia 56 tahun tersebut melanjutkan, keempat adalah Karang Kalingkuhan, yakni pekarangan yang ada pada sudut pekarangan tetangga atau pekarangan yang dikelilingi oleh pekarangan tetangga. “Ini sangat tidak baik,” ujarnya.
Namun demikian, salah satu jalan keluarnya menurut Pasek Swastika adalah mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan mendirikan padma capah di pintu keluar pekarangan dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Selanjutnya, yang kelima disebut dengan Karang Sulanupi, yakni pekarangan yang ada pada pertigaan jalan atau gang. Juga setengah dari pekarangan dilingkari oleh jalan, gang, got, atau sungai. “Ini tidak baik,” ungkapnya.
Ia mengatakan, salah satu jalan keluarnya adalah dengan dibuatkan caru pamahayu pekarangan, yakni caru jigramaya.
Selain itu, pada sudut pekarangan yang berhadapan dengan pertigaan dibuatkan padma capah  dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Keenam, ada pakarangan yang disebut dengan Karang Catuspata atau pempatan agung. Pekarangan ini letaknya berhadapan dengan perempatan jalan atau gang. “Juga tidak baik,” ujarnya.
Jalan keluarnya menurutnya juga dengan mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan didirikan padma capah sebagai stana Sang Hyang Panca Durga, Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Durga Maya. 
Ketujuh, ada yang disebut dengan Karang Suduk Angga/Karubuhan, yakni pekarangan yang letaknya pada ujung jalan atau gang. Menurutnya pekarangan ini juga tidak baik. Jalan keluarnya hampir sama, yakni mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan mendirikan padma capah di pintu keluar pekarangan dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya. 
Kedelapan, disebut dengan Karang Kuta Kubhanda atau Butha Kabanda, yakni pekarangan yang dikelilingi oleh jalan, gang, got, atau sungai. Pekarangan ini juga tidak baik jika dibangun tempat tinggal begitu saja. Jalan keluarnya pun dengan mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan mendirikan padma capah di pintu keluar pekarangan dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Di samping jenis-jenis pekarangan tersebut, jika ingin membeli tanah untuk pekarangan juga sebaiknya mengetahui asal-usul tanah tersebut. Secara administratif, tentunya menghindari masalah di kemudian hari. Sedangkan secara religius, tentunya berpengaruh kepada ketenangan dan kenyamanan orang yang menempatinya kelak. Di beberapa sumber juga dikatakan jenis pekarangan lain yang perlu diwaspadai atau dihindari  di antaranya adalah tanah bekas terjadi bencana, bekas pura, balai banjar, bekas kuburan, tanah yang warnanya hitam legam dan menimbulkan bau amis, busuk, atau hangus yang tidak wajar. Selain itu, jika mendirikan padma capah dan menstanakan dewa/dewi pada pekarangan umat harus secara rutin mabanten.
Jika di satu sisi tidak baik dijadikan tempat tinggal, beberapa pekarangan yang telah disebutkan,  justru baik untuk tempat usaha, terutama Karang Kuta Kubhanda atau Butha Kabhanda, Karang Suduk Angga/Karubuhan, Karang Catus Pata, dan Karang Sulanupi. “Semua jenis pekarangan itu tetap wajib dibuatkan caru pamahayu pekarangan,” tekan Pinandita Pasek.

(SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)

Rabu, 25 Januari 2017

Alasan Mengapa Warga Pande Tidak Boleh Memakan Ikan Gabus (Be Jeleg)?



Sameton Pande pasti sudah banyak yang tau kalau warga Pande tidak dizinkan memakan daging ikan jeleg/deleg (ikan gabus). Tapi apakah setiap keluarga yang melarang keluarganya memakan be jeleg menjelaskan kenapa warih Pande tidak diperkenankan memakan ikan jeleg? Seperti kami sendiri, banyak yang orang tua kami yang sama seperti kami, "Nak keto pabesen lingsir-lingsire pidan, jeg tuutin da bana nglawan, nyanan kena pamastu!," begitulah orangtua sering mengatakan karena ketidak tahuannya dan kami pun mengikutinya. Namun di zaman sekarang, anak muda yang enerjik dan penuh rasa ingin tahu tak cukup diberikan jawaban "nak mula keto", mereka selalu ingin mencari jawaban atas segala pertanyaan di otaknya agar tidak selalu terkukung oleh dogma nak mula keto.

Lalu kenapa Warga Pande tidak boleh makan be jeleg? Sebenarnya larangan ini ada dalam salah satu bhisama Warga Pande yaitu pada larangan Asta Candala. Beginilah ceritanya :

Pada tahun 1556 Masehi, ketika terjadi pembrontakan atas pemerintahan Dalem Bekung yang dilakukan oleh Arya Batan Jeruk ( keturunan arya kepakisan ) sehingga Arya Batan duanggap Angesti Muji Dadia Sang Prabu. (bercita-cita ingin menjadi Raja).

Akhirnya Arya Batan Jeruk tewas setelah di kejar sampai Bonganya, Karangasem. Pembrontakan selanjutnya dilakukan oleh Kyayi Pande Bhasa, yang terlibat pembrontakan ini dalah Keluarga Pande Capung yang didukung keluarga besar. Kerajaan Gelgel terpecah belah terutama keturunan Majapahit. Mereka menegaskan jati diri, karena ada unsur saling curiga. Para Pasek dan Pande mebantu penguasa yang dekat sama mereka.
Ketika pembrontakan dapat di padamkan yang memihak raja tetap tinggal di Gelgel dan yang memihak para pembrontak mengungsi dan menyelamatkan diri. Karena keterlibatan para Pande terutama di Klungkung. Sewaktu-waktu para Pande dapat terbunuh.

Sang Bhagawan sebagai penasehat Raja bercerita kepada Raja bahwa Penyebab Kekacauan yang merajarela adalah Sira Pande, "nak I Pande sane ngaryanin Sanjata nu idup, ipun sane ngranayang wenten perang, yen I Pande ten wenten, sinah ten wenten perang". Menurut Bhagawan Sira Pande yang membuat senjata ke sana ke mari dan meyakinkan raja bahwa Sira Pande menyebabkan hal itu dan menyarankan membunuh semua Pande sampai habis karena jadi biang keladi. 

Ida Dalem menerima saran dari sang bhagawan dan memerintahkan membunuh seluruh Warga Pande baik yang kecil, bayi, muda, tua tanpa pri kemanusiaan. Sehingga banyak warga Pande yang kalang kabut dikejar-kejar oleh pasukan kerajaan, bahkan rela nyineb wangsa, menghilangkan nama Pande dan tidak mengaku sebagai warga Pande agar bisa bertahan hidup. I Pande yang tak mau meninggalkan leluhur dan tetap mengaku sebagai  Warga Pande terus berlarian bersembunyi dari orang-orang yang memburu I Pande. Satu per satu mereka ditemukan dan dibunuh.

Tetapi atas perlindungan Ida Ratu Bagus Pande ada seorang warga Pande masih hidup. Warga pande itu dilindungi dan di sembunyikan oleh Jangga Wadita (be jeleg) di bawah air terjun di Sawah Gambangan. Orang yang memburu warga Pande itu berpikir tidak mungkin si Pande bersembunyi di telaga itu. Ikan yang ada di telaga itu tidak beranjak pergi. Jika air terjun ini menjadi persembunyian si Pande sudah pasti ikan Gabus yang mengambang di telaga ini akan pergi dan gelombang air pun tidak ada sama sekali. Dengan mengalami kejadian itu si Pande bersumpah sampai keturunannya tidak akan memakan ikan Gabus. Itulah sedikit sejarahnya kenapa kita dilarang memakan "BE JELEG" atau IKAN GABUS.

Sumber: http://pandetamanbali.blogspot.co.id 

Senin, 23 Januari 2017

Perayaan Siwaratri

Oṁ Swastyastu,
Perayaan Śiwarātri
Śivarātri artinya malam Śiva. Jatuh pada caturdasi Kṛṣṇapakṣa artinya panglong ping 14 sasih ke 7 sehari sebelum Tilem (bulan mati) pada bulan Magha, yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.
Sumber ajaran Śivarātri ada dalam Purana dan Lontar seperti Padma Purāṇa, Śiva Purāṇa, Skanda Purāṇa dan Garuda Purāṇa serta lontar-lontar seperti Śiva Rātrikalpa, Śivarātri Brata, Lontar Ajibrata, Lontar Puja Śivarātri, Lontar Tutur Śivarātri. Śiva Rātrikalpa satu-satunya kakawin yang di gubah oleh Mpu Tanakung yang secara gamblang memberikan keterangan tentang Śivarātri di Indonesia, berdasarkan penelitian para akhli bahwa kakawin ini sangat dekat dengan Kitab Padma Purāṇa.
Brata Śivarātri ada tiga tingkat yaitu: (1) Utama, dengan melaksanakan: monobrata, upawasa dan jagra. (2) Madhyama, dengan melaksanakan: upawasa dan jagra. (3) Kanista,  dengan melaksanakan: hanya jagra. Upawasa artinya : berpuasa atau tidak makan, Monobrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara, dan Jagra artinya: berjaga atau tidak tidur. Daam petikan kakawin Úivaràtri jagra dilakukan selama 36 jam sedangkan upawasa dan monabrata dilakukan selama 24 jam mulai dari panglong ping 14 sampai pada pagi hari pada panglong ping 15.
Nilai Filosofis dari Lubdaka.
Jika disimak arti kata Lubdaka (pemburu) – berburu binatang (sattva). sattva (etimologis) - sat. “Sat” inti, hakekat, kebenaran, sedangkan kata “tva” berarti memiliki sifat.
Kita selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, kebajikan, sifat-sifat baik dan membunuh, nafsu angkara murka, sad ripu dan lain
Alat bebrburu panah, simbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran kita selalu berburu budhi sattwa. Agar kita mendapatkan budhi sattwam mesti kita mengendalikan indrianya (melupakan bekal makanan)
Pohon bilwa/bala (kekuatan alam/prana) disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra, simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan.
Duduk di cabang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi.
Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya pengetahuan spiritual.
Memetik daun bilwa, 108 yaitu memetik ajaran Siwa, untuk mengembangkan kesadaran. Kata ron, don, berarti daun, juga berarti tujuan.
Dengan demikian pelukisan dari puncak kejahatan yang ditampilkan melalui tokoh Lubdaka, (pemburu) merupakan gambaran esensi dari kesadaran tertinggi dan pada manusia untuk menemukan kembali hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Secara simbolik pada panglong ping 14 sasih Kapitu adalah merupakan puncak (central) dari peredaran masa (malam tergelap) si Lubdaka secara tidak sengaja telah melepaskan kebiasaannya untuk berbuat himsa (pembunuhan). Dengan demikian interpretatif menunjukan bahwa adanya pelukisan mengenai pertobatan pada puncak pelaku yang paling puncak.
Dalam buana alit dikenal dengan peteng pitu (sapta timira), yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian (Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).
Dalam ajaran Yoga Patañjali adalah bertujuan untuk mencapai Citta vretti niroddha untuk mencapai tingkat samàdhi yang paling tinggi yaitu asamprajñāta samādhi atau nirbija samādhi. Untuk mencapai citta vretti niroddha yaitu menghentikan goncangan-goncangan pikiran menurut Ṛsi Patañjali hendaknya dimulai dari aṣṭangga yoga yaitu :  Yama, Nyama, Asana, Pràóayama, Pratayahāra, Dhārāna Dhyāna dan samādhi. Pada tingkat samādhi yang paling tinggi nirbija samādhi semua karma akan terbebas dan terbakar habis dan jīva akan mencapai kelepasan. (Yoga Pantañjali).
Penjelasan lain juga terdapat Wrehasparti tattwa antara lain sebagai berikut : apabila samādhi sang Yogiswara telah mencapai puncaknya, maka terbakarlah tattwa sampai kepada Tri guna tattwa. Itulah sedikit makna dalam brata Śivarātri.
Berburu binatang di hutan bila kita refleksikan dengan ajaran yoga, berburu untuk melenyapkan atau mengendalikan sifat rajas, yang dilambangkan dengan warna merah (kemarahan/emosional) dan hitam atau gelap (sebagai lambang kebodohan atau kemalasan), sedang sattwam dilambangkan dengan warna putih. Untuk menemukan warna putih sebagai wujud kesucian, maka kegelapan dan keangkeran atau sapta timira dalam diri mesti dihapuskan dan bila hal ini terjadi, maka cinta kasih dari Hyang Widhi, akan dapat kita wujudkan. Seperti bayangan bulan akan tampak dalam periuk yang berisi air yang bersih, jernih dan suci. (Arjuna Wiwaha).
Kehidupan ini kita bagaikan segelas air yang jernih, karma-karma buruk yang telah menodainya, yang dapat kita umpamakan sebagai setetes tinta yang jatuh ke dalam gelas yang berisi air yang jernih, maka merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan untuk menjernihkan kembali air yang ada dalam gelas yang telah ternoda tersebut. Ada pun mungkin jalan yang terbaik adalah dengan mengganti gelas yang lebih besar lalu dengan menuangkan air yang sebanyak-banyaknya lagi, sehingga pada saatnya air itu akan menjadi jernih kembali. Karma-karma yang buruk hanya dapat dinetralisasi dengan berbuatan yang baik sebanyak-banyaknya.
Pada malam hari panglong ping 14 Deva Śiva menurunkan ajaran yang bernama Barata Śivarātri yang memberikan pahala yang mulia.
MpuTanakung menuliskan ---,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji.
Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa (menyebut nama Tuhan berkali-kali),
Dalam Kakawin Nitisastra disebutkan “Tan hana satru manglewihaning hana geleng ri hati” artinya : tidak ada musuh yang melebihi musuh yang menyelinap dalam hati. Manusia tidak ada yang mutlak baik atau mutlak jelek, hal ini diungkap oleh ajaran Sāmkhya Yoga yang direkonstruksi dalam lontar Wrehaspati Tattwa dalam versi yang berbeda, namun tetap dikembangkan dalam satu konsepsi yang sama.
Menurut pendapat saya Lubdaka adalah lambang orang yang bhakti kepada Deva Śiva, walaupun bhaktinya tidak sengaja dengan banyak dosanya tapi ia masuk Śivaloka pula. Ini rupanya melambangkan bahwa sehina-hina manusia asal mau memperbaiki diri dengan mengikuti ajaran deva Śiva akan masuk Śivaloka. Yang hina saja dapat masuk Śivaloka apalagi yang bhakti kepadaNya dengan mulus masuk Śivaloka sebagai lambang kerahayuan.
Cara berbhakti kepeda Deva Śiva ialah dengan mengendalikan diri. Ini dilambangkan dengan melek (Jagra), berpuasa (upawasa) dan tidak bicara (monabrata). Andai kata Lubdaka tidak mampu mengendalikan dirinya pada waktu di dahan kayu di dalam hutan ia akan jatuh dimakan binatang buas. Ia mampu menahan kantuk, berdiam diri, tidak berkata hingga ia lolos dari bahaya gelap waktu malam pekat itu.
Mungkin saja kita ini Lubdaka-Lubdaka pula yang sedang menghadapi gelap kehidupan ini. Bila kita dapat mengendalikan diri dalam mengarungi kehidupan ini mungkin kita akan dapat melepaskan diri dari kegelapan ini.
Keutamaan Brata Śivarātri dalam Kakawin Śivarātrikalpa (34.4)
Tuhun kalěwihing bratanajarakěn mami niyata maweh phalādhika,
Tuwin milangakěn saduskṛta těhěr masung atiśaya bhoga bhāgya len,
Awas tan angusir yamaṇḍa phalaning jana gumayakěn tikang brata,
Sapāpa nika śirna den i phalaning brata winuwusakěnku tan salah.
(Sungguh utama brata yang aku ajarkan dan pasti akan mendatangkan pahala yang utama;
Juga menghilangkan segala perbuatan yang tidak baik lalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup;  Setiap orang yang melaksanakan brata tersebut pasti tidak akan menemukan sengsara; Semua penderitaannya lenyap dikarenakan oleh pahala dari brata Śvarātri yang aku ajarkan)
Semoga bermanfaat,
Rahayu nyanggra Śivarārti, 26-01-2017
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ.

Sumber: Prof. Made Surada

Minggu, 01 Januari 2017

Kenapa Cicak Disimbolkan Sebagai Ilmu Pengetahuan Menurut Hindu

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?
Jika umat Hindu di Bali ketika sedang ngobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, “Pakulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati”. Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?
Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.
Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melakukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.
Akśara  Bali
Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu Akśara  Bali. Akśara  Bali terbagi atas Akśara  biasa dan Akśara  suci. Akśara  biasa terdiri atas Akśara  wreastra – Akśara  yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 Akśara, misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan Akśara  swalalita atau Akśara  yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 Akśara , misalnya: a, i, u, e, o.
Akśara  suci terbagi atas Akśara  wijākśara  atau bijākśara  (Akśara  swalalita + Akśara  aṁsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau Akśara  lukisan magis. Akśara aṁsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti; utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wiṣṇu dengan simbol air dan Dewa Śiwa atau Īswara dengan lambang udara. Akśara  aṁsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.
Selain itu, dalam Akśara  Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah Akśara  wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah Akśara ) atau gempelan (digabungkan dengan Akśara  didepannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan Akśara  mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai Akśara  biasa atau ma dengan aṁsa sebagai Akśara  wijākśara /bijākśara .
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan Akśara  aṁsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau Akśara  aṁsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wiṣṇu, Śiwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau aṁsa, yang bunyinya ng .
Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecakyang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan Akśara  Aṁsa yang berbunyi “ng”. Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wiṣṇu, Śiwa) umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Sekali lagi, ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Aṁsa, yang bunyinya “ng” (……..).

Sumber: Dharmagiriutama, phdi

Selasa, 27 Desember 2016

Kajeng Kliwon, Sang Tiga Bhucari

Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara (Umanis Pahing Pon Wage Kliwon) dengan Triwara (Pasah Beteng Kajeng) diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna. Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan sekalanya kita selalu berbuat trikaya parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia seimbang.
  • Dyah Maya Kresna rupanya putih kekuning-kuningan menjadi Sang Batur Kalika.
  • Sang Bajradhaksa menjadi bhuta ijo (berwarna hijau/Sang Bhuta Wilis)
  • Sang Bajrangkara menjadi bhuta abang (berwarna merah/Sang Kala Ranta). Itulah yang disebut Durgga Bhucari, Bhuta Bhucari dan Kala Bhucari. Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;
Berwujud manusia
  1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.
  2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.
  3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.
  4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.
  5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.
  6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.
  7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.
Berwujud bagian tubuh manusia
  1. Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.
  2. Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.
  3. Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.
  4. Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.
  5. Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.
Berwujud kerangka manusia
Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.
  1. Berwujud binatang
  2. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.
  3. Banaspati-raja : berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.
Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selaluingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah).
Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.

Sumber: subuduartha, dr. Putu melaya

Rabu, 21 Desember 2016

SEPULUH SIKAP HIDUP BAHAGIA
Oleh : Mahatma Gandhi



1. Lepaskanlah rasa kuatir dan ketakutan
Ketakutan dan kekuatiran hanyalah imajinasi pikiran akan suatu kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. Kebanyakan hal-hal yang kamu kuatirkan dan takutkan tak pernah terjadi!  It's all only in your mind.

2. Buanglah dendam
Dendam dan amarah yang disimpan hanya akan menyedot energi diri kamu dan hanya mendatangkan KELELAHAN JIWA. BUANGLAH!!

3. Berhentilah mengeluh
Mengeluh berarti selalu tak menerima apa yang ada saat ini. Secara tak sadar kamu membawa-bawa beban negatif.

4. Bila ada masalah, selesaikan satu per satu
Hanya inilah cara menangani setiap : Satu demi satu.

5. Tidurlah dengan nyenyak
Semua masalah tak perlu dibawa tidur. Hal tersebut buruk dan tidak sehat. Biasakanlah tidur dengan nyaman.

6. Jauhi urusan orang lain
Biarkan masalah orang lain menjadi urusan mereka sendiri. Mereka memiliki cara sendiri untuk menangani setiap masalahnya.

7. Hiduplah pada saat ini, bukan masa lalu
Nikmati masa lalu sebagai kenangan, jangan tergantung pada nya. Konsentrasilah hidupmu pada kejadian saat ini, karena apa yang kamu miliki adalah saat ini, bukan kemarin, bukan besok.
BE TOTALLY PRESENT

8. Jadilah pendengar yang baik
Saat menjadi pendengar, kamu belajar dan mendapatkan ide-ide baru yang berbeda dari orang lain.

9. Berpikirlah positif
Rasa frustasi datang dari pikiran negatif. Kembalilah berpikir positif.
Bertemanlah dengan orang-orang yang berpikiran positif dan terlibatlah dengan kegiatan-kegiatan positif.

10. Bersyukurlah atas hal-hal kecil yang akan membawa kamu pada hal-hal besar
Sekecil apapun karunia yang kamu terima,
akan menghasilkan hal-hal besar dan selalu membawa Kebahagian saat kita pandai Bersyukur.

Sumber:

Selasa, 20 Desember 2016

Filosofi dan Estetika dari Kwangen

"om swastyastu" 
Latar Belakang
            Upakara memilki kekuatan saling ketergantungan dengan puja, weda, sehe dan atmanastuti, karena upakara memiliki kekuatan jnana prawrti jnana, jnana dan kedua kekuatan itu adalah sebagai kekuatan Lingga atau kekuatan bhakti dan sradhanya umat hindu kehadapan keberadaan sanghyang widhi.
            Pembuatan upakara pada suatu upacara agama, sudah jelas dilihat dulu tattwa agamanya, agar fungsi dan tujuan dari upacaranya tidak melenceng dari tujuan si pelaksananya. Salah satu dari upakaranya ada adalah kwangen. Kwangen digunakan pada saat pelaksanaan panca yajna. Kwangen memiliki lambing sebagai om-kara. Meskipun bentuknya yang mungil dan terilihat sangat praktis dalam pembuatannnya namun banyak sekali makna-makna penting yang terkandung di dalam setiap unsur yang ada didalamnya.
Filosofis Kwangen
            Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra”  (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om”  adalah huruf suci, singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Dalam Siwagama disebutkan bentuk Kewangen Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang, plawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum yang ditusuk dengan semat (bilih bambu yang dibelah kecil-kecil). Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen, bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi (batang daun kelapa yang kecil) yang dilipat sehingga mudah ditancapkan.
            Kwangen digunakan sebagai sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara / bebantenan. Kewangen paling banyak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.
  1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
  2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
  3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
  4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten.
  5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll
Estetika Kwangen
            Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk ”Kwangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. ”Kwangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kwangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kwangen” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah ”kwangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.   
  • Unsur-unsur keindahan Kwangen
            Untuk mewujudkan estetika “kwangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika) pada bentuk “kwangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kwangen
            Kojong kwangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badan kojong melambangkan “Suku Tunggal”.
2) Plawa
            Plawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketenangan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat mendukung estetika “kwangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadap-hadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kwangen”.
4) Sampian kwangen
Sampian kwangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kwangen sebagai simbol “Nada”. Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kwangen. Sampian kwangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kwangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kwangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha.
  • Doa atau Mantra Kwangen 
Doa atau mantra untuk kwangen biasanya dapat ditemukan di dalam panca sembah yaitu pada bait ketiga atau ke empat sebagai berikut :
1.      Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantram : “ Om Atma Tattvatma Soddha Mam Svaha.”
Artinya: “ Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.”
2.      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantram:
"Om Adityasyaparam Jyoti,

Rakta Tejo Namo’stute,

Svetapankaja Madhyasthah,

Bhaskarayo Namo’stute"
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.”

3.      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Namo Devaya, Adhisthanaya,
Sarva Vyapi Vai Sivaya,
Padmasana Ekapratisthaya,
Ardhanaresvaryai Namo Namah Svaha "
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.”
4.    Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
"Om Nugrahaka Manohara,
Deva Dattanugrahaka,
Arcanam Sarva Pujanam,
Namah Sarvanugrahaka,
Om Deva Devi Mahasiddhi,
Yajnangga Nirmalatmaka,
Laksmi Siddhisca Dirghayuh
Nirvighna Sukha Vrddhisca."
Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.”
5.      Sembah tanpa bunga (Muyung).
Mantram:
"Om Deva Suksma Paramacintyaya Namah Svaha."

 Artinya: “Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.”

"Om Santih Santih Santih Om"


Sumber: