Pekarangan merupakan sebidang tanah sebagai tempat mendirikan bangunan di atasnya, khususnya rumah. Bagi masyarakat Bali, selain rumah, pekarangan juga sebagai tempat membangun merajan dan disisihkan sebagiannya lagi sebagai teba, yakni lahan serba guna. Hal itu berdasarkan konsep tri mandala yang diwariskan oleh Mpu Kuturan.
Menurut Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika, keberadaan budaya bangunan yang diwarisi masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu, tidak bisa dipisahkan dari arsitek besar seperti Kebo Iwa pada zaman Baliaga, Mpu Kuturan pada abad ke-11. Selain juga pengaruh Dang Hyang Nirartha pada masa pemerintaha Dalem Waturenggong di abad ke-14.
Pinandita Pasek Swastika menjelaskan, sesuai lontar Astha Bhumi dan Astha Kosala-Kosali, pemilihan suatu tempat untuk bangunan sangat penting. “Hal itu akan sangat berpengaruh pada para penghuni bangunan tersebut,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Menurut Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika, keberadaan budaya bangunan yang diwarisi masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu, tidak bisa dipisahkan dari arsitek besar seperti Kebo Iwa pada zaman Baliaga, Mpu Kuturan pada abad ke-11. Selain juga pengaruh Dang Hyang Nirartha pada masa pemerintaha Dalem Waturenggong di abad ke-14.
Pinandita Pasek Swastika menjelaskan, sesuai lontar Astha Bhumi dan Astha Kosala-Kosali, pemilihan suatu tempat untuk bangunan sangat penting. “Hal itu akan sangat berpengaruh pada para penghuni bangunan tersebut,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Oleh karena itu, menurutnya sangat penting bagi umat untuk mengetahui dan memahami berbagai macam kategori pekarangan agar bisa mendapatkan manfaat.
Astha Kosala-Kosali dan Astha Bhumi merupakan panduan dalam membuat bangunan atau arsitektur. Salah satu tokoh dewata yang terkenal berkaitan dengan arsitektur adalah Bhagawan Wiswakarma. Oleh karena itu, Bhagawan Wiswakarma menjadi salah satu dewata yang dimohonkan untuk menuntun pembuatan suatu bangunan agar mendatangkan manfaat positif bagi penghuninya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Astha Kosala-Kosali dan Astha Bhumi merupakan ajaran Feng Shui ala Bali. Hal itu wajar saja, mengingat Hindu percaya terhadap energi alam yang berhubungan dengan energdi dalam tubuh manusia yang saling berkaitan. Sehingga, dengan energi yang selaras, kehidupan alam dan manusia akan harmonis.
Sebelum membuat bangunan, tentunya umat harus punya tanah pekarangan. Nah, berkaitan dengan hal itu, Pasek Swastika mengatakan, ada beberapa jenis pekarangan yang berisiko jika dibangun tempat tinggal.
Astha Kosala-Kosali dan Astha Bhumi merupakan panduan dalam membuat bangunan atau arsitektur. Salah satu tokoh dewata yang terkenal berkaitan dengan arsitektur adalah Bhagawan Wiswakarma. Oleh karena itu, Bhagawan Wiswakarma menjadi salah satu dewata yang dimohonkan untuk menuntun pembuatan suatu bangunan agar mendatangkan manfaat positif bagi penghuninya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Astha Kosala-Kosali dan Astha Bhumi merupakan ajaran Feng Shui ala Bali. Hal itu wajar saja, mengingat Hindu percaya terhadap energi alam yang berhubungan dengan energdi dalam tubuh manusia yang saling berkaitan. Sehingga, dengan energi yang selaras, kehidupan alam dan manusia akan harmonis.
Sebelum membuat bangunan, tentunya umat harus punya tanah pekarangan. Nah, berkaitan dengan hal itu, Pasek Swastika mengatakan, ada beberapa jenis pekarangan yang berisiko jika dibangun tempat tinggal.
Pertama, disebut Karang Sandang Lawe, yakni pekarangan atau tempat tinggal yang saling berhadap-hadapan di antara dua sisi jalan atau gang. “Bila ditempati oleh satu keluarga kandung akan sangat tidak baik,” ujarnya.
Demikian pula pekarangan yang diapit oleh dua pekarangan yang dimiliki oleh satu orang.
Kedua, Karang Teledu Nginyah, yakni pekarangan atau tempat tinggal yang berseberang dalam satu jalan atau gang yang sudut pekarangannya berhadap-hadapan. “Bila ditempati satu keluarga kandung, akan sangat tidak baik pula,” paparnya.
Kedua, Karang Teledu Nginyah, yakni pekarangan atau tempat tinggal yang berseberang dalam satu jalan atau gang yang sudut pekarangannya berhadap-hadapan. “Bila ditempati satu keluarga kandung, akan sangat tidak baik pula,” paparnya.
Ketiga, ada pekarangan yang disebut dengan Karang Ngulonin Banjar utawi Pura. Dalam hal ini pekarangan letaknya berdampingan atau berada di bagian hulu bale banjar atau pura. “Juga tidak baik. Jalan keluarnya adalah dengan membuatkan gang kecil di antara dua pekarangan itu,” jelasnya.
Pria berusia 56 tahun tersebut melanjutkan, keempat adalah Karang Kalingkuhan, yakni pekarangan yang ada pada sudut pekarangan tetangga atau pekarangan yang dikelilingi oleh pekarangan tetangga. “Ini sangat tidak baik,” ujarnya.
Namun demikian, salah satu jalan keluarnya menurut Pasek Swastika adalah mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan mendirikan padma capah di pintu keluar pekarangan dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Selanjutnya, yang kelima disebut dengan Karang Sulanupi, yakni pekarangan yang ada pada pertigaan jalan atau gang. Juga setengah dari pekarangan dilingkari oleh jalan, gang, got, atau sungai. “Ini tidak baik,” ungkapnya.
Selanjutnya, yang kelima disebut dengan Karang Sulanupi, yakni pekarangan yang ada pada pertigaan jalan atau gang. Juga setengah dari pekarangan dilingkari oleh jalan, gang, got, atau sungai. “Ini tidak baik,” ungkapnya.
Ia mengatakan, salah satu jalan keluarnya adalah dengan dibuatkan caru pamahayu pekarangan, yakni caru jigramaya.
Selain itu, pada sudut pekarangan yang berhadapan dengan pertigaan dibuatkan padma capah dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Keenam, ada pakarangan yang disebut dengan Karang Catuspata atau pempatan agung. Pekarangan ini letaknya berhadapan dengan perempatan jalan atau gang. “Juga tidak baik,” ujarnya.
Keenam, ada pakarangan yang disebut dengan Karang Catuspata atau pempatan agung. Pekarangan ini letaknya berhadapan dengan perempatan jalan atau gang. “Juga tidak baik,” ujarnya.
Jalan keluarnya menurutnya juga dengan mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan didirikan padma capah sebagai stana Sang Hyang Panca Durga, Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Durga Maya.
Ketujuh, ada yang disebut dengan Karang Suduk Angga/Karubuhan, yakni pekarangan yang letaknya pada ujung jalan atau gang. Menurutnya pekarangan ini juga tidak baik. Jalan keluarnya hampir sama, yakni mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan mendirikan padma capah di pintu keluar pekarangan dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Kedelapan, disebut dengan Karang Kuta Kubhanda atau Butha Kabanda, yakni pekarangan yang dikelilingi oleh jalan, gang, got, atau sungai. Pekarangan ini juga tidak baik jika dibangun tempat tinggal begitu saja. Jalan keluarnya pun dengan mengadakan pacaruan pamahayu pekarangan dan mendirikan padma capah di pintu keluar pekarangan dan distanakan Sang Hyang Indra Belaka atau Sang Hyang Kalamaya.
Di samping jenis-jenis pekarangan tersebut, jika ingin membeli tanah untuk pekarangan juga sebaiknya mengetahui asal-usul tanah tersebut. Secara administratif, tentunya menghindari masalah di kemudian hari. Sedangkan secara religius, tentunya berpengaruh kepada ketenangan dan kenyamanan orang yang menempatinya kelak. Di beberapa sumber juga dikatakan jenis pekarangan lain yang perlu diwaspadai atau dihindari di antaranya adalah tanah bekas terjadi bencana, bekas pura, balai banjar, bekas kuburan, tanah yang warnanya hitam legam dan menimbulkan bau amis, busuk, atau hangus yang tidak wajar. Selain itu, jika mendirikan padma capah dan menstanakan dewa/dewi pada pekarangan umat harus secara rutin mabanten.
Jika di satu sisi tidak baik dijadikan tempat tinggal, beberapa pekarangan yang telah disebutkan, justru baik untuk tempat usaha, terutama Karang Kuta Kubhanda atau Butha Kabhanda, Karang Suduk Angga/Karubuhan, Karang Catus Pata, dan Karang Sulanupi. “Semua jenis pekarangan itu tetap wajib dibuatkan caru pamahayu pekarangan,” tekan Pinandita Pasek.