Senin, 23 Januari 2017

Perayaan Siwaratri

Oṁ Swastyastu,
Perayaan Śiwarātri
Śivarātri artinya malam Śiva. Jatuh pada caturdasi Kṛṣṇapakṣa artinya panglong ping 14 sasih ke 7 sehari sebelum Tilem (bulan mati) pada bulan Magha, yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.
Sumber ajaran Śivarātri ada dalam Purana dan Lontar seperti Padma Purāṇa, Śiva Purāṇa, Skanda Purāṇa dan Garuda Purāṇa serta lontar-lontar seperti Śiva Rātrikalpa, Śivarātri Brata, Lontar Ajibrata, Lontar Puja Śivarātri, Lontar Tutur Śivarātri. Śiva Rātrikalpa satu-satunya kakawin yang di gubah oleh Mpu Tanakung yang secara gamblang memberikan keterangan tentang Śivarātri di Indonesia, berdasarkan penelitian para akhli bahwa kakawin ini sangat dekat dengan Kitab Padma Purāṇa.
Brata Śivarātri ada tiga tingkat yaitu: (1) Utama, dengan melaksanakan: monobrata, upawasa dan jagra. (2) Madhyama, dengan melaksanakan: upawasa dan jagra. (3) Kanista,  dengan melaksanakan: hanya jagra. Upawasa artinya : berpuasa atau tidak makan, Monobrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara, dan Jagra artinya: berjaga atau tidak tidur. Daam petikan kakawin Úivaràtri jagra dilakukan selama 36 jam sedangkan upawasa dan monabrata dilakukan selama 24 jam mulai dari panglong ping 14 sampai pada pagi hari pada panglong ping 15.
Nilai Filosofis dari Lubdaka.
Jika disimak arti kata Lubdaka (pemburu) – berburu binatang (sattva). sattva (etimologis) - sat. “Sat” inti, hakekat, kebenaran, sedangkan kata “tva” berarti memiliki sifat.
Kita selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, kebajikan, sifat-sifat baik dan membunuh, nafsu angkara murka, sad ripu dan lain
Alat bebrburu panah, simbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran kita selalu berburu budhi sattwa. Agar kita mendapatkan budhi sattwam mesti kita mengendalikan indrianya (melupakan bekal makanan)
Pohon bilwa/bala (kekuatan alam/prana) disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra, simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan.
Duduk di cabang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi.
Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya pengetahuan spiritual.
Memetik daun bilwa, 108 yaitu memetik ajaran Siwa, untuk mengembangkan kesadaran. Kata ron, don, berarti daun, juga berarti tujuan.
Dengan demikian pelukisan dari puncak kejahatan yang ditampilkan melalui tokoh Lubdaka, (pemburu) merupakan gambaran esensi dari kesadaran tertinggi dan pada manusia untuk menemukan kembali hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Secara simbolik pada panglong ping 14 sasih Kapitu adalah merupakan puncak (central) dari peredaran masa (malam tergelap) si Lubdaka secara tidak sengaja telah melepaskan kebiasaannya untuk berbuat himsa (pembunuhan). Dengan demikian interpretatif menunjukan bahwa adanya pelukisan mengenai pertobatan pada puncak pelaku yang paling puncak.
Dalam buana alit dikenal dengan peteng pitu (sapta timira), yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian (Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).
Dalam ajaran Yoga Patañjali adalah bertujuan untuk mencapai Citta vretti niroddha untuk mencapai tingkat samàdhi yang paling tinggi yaitu asamprajñāta samādhi atau nirbija samādhi. Untuk mencapai citta vretti niroddha yaitu menghentikan goncangan-goncangan pikiran menurut Ṛsi Patañjali hendaknya dimulai dari aṣṭangga yoga yaitu :  Yama, Nyama, Asana, Pràóayama, Pratayahāra, Dhārāna Dhyāna dan samādhi. Pada tingkat samādhi yang paling tinggi nirbija samādhi semua karma akan terbebas dan terbakar habis dan jīva akan mencapai kelepasan. (Yoga Pantañjali).
Penjelasan lain juga terdapat Wrehasparti tattwa antara lain sebagai berikut : apabila samādhi sang Yogiswara telah mencapai puncaknya, maka terbakarlah tattwa sampai kepada Tri guna tattwa. Itulah sedikit makna dalam brata Śivarātri.
Berburu binatang di hutan bila kita refleksikan dengan ajaran yoga, berburu untuk melenyapkan atau mengendalikan sifat rajas, yang dilambangkan dengan warna merah (kemarahan/emosional) dan hitam atau gelap (sebagai lambang kebodohan atau kemalasan), sedang sattwam dilambangkan dengan warna putih. Untuk menemukan warna putih sebagai wujud kesucian, maka kegelapan dan keangkeran atau sapta timira dalam diri mesti dihapuskan dan bila hal ini terjadi, maka cinta kasih dari Hyang Widhi, akan dapat kita wujudkan. Seperti bayangan bulan akan tampak dalam periuk yang berisi air yang bersih, jernih dan suci. (Arjuna Wiwaha).
Kehidupan ini kita bagaikan segelas air yang jernih, karma-karma buruk yang telah menodainya, yang dapat kita umpamakan sebagai setetes tinta yang jatuh ke dalam gelas yang berisi air yang jernih, maka merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan untuk menjernihkan kembali air yang ada dalam gelas yang telah ternoda tersebut. Ada pun mungkin jalan yang terbaik adalah dengan mengganti gelas yang lebih besar lalu dengan menuangkan air yang sebanyak-banyaknya lagi, sehingga pada saatnya air itu akan menjadi jernih kembali. Karma-karma yang buruk hanya dapat dinetralisasi dengan berbuatan yang baik sebanyak-banyaknya.
Pada malam hari panglong ping 14 Deva Śiva menurunkan ajaran yang bernama Barata Śivarātri yang memberikan pahala yang mulia.
MpuTanakung menuliskan ---,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji.
Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa (menyebut nama Tuhan berkali-kali),
Dalam Kakawin Nitisastra disebutkan “Tan hana satru manglewihaning hana geleng ri hati” artinya : tidak ada musuh yang melebihi musuh yang menyelinap dalam hati. Manusia tidak ada yang mutlak baik atau mutlak jelek, hal ini diungkap oleh ajaran Sāmkhya Yoga yang direkonstruksi dalam lontar Wrehaspati Tattwa dalam versi yang berbeda, namun tetap dikembangkan dalam satu konsepsi yang sama.
Menurut pendapat saya Lubdaka adalah lambang orang yang bhakti kepada Deva Śiva, walaupun bhaktinya tidak sengaja dengan banyak dosanya tapi ia masuk Śivaloka pula. Ini rupanya melambangkan bahwa sehina-hina manusia asal mau memperbaiki diri dengan mengikuti ajaran deva Śiva akan masuk Śivaloka. Yang hina saja dapat masuk Śivaloka apalagi yang bhakti kepadaNya dengan mulus masuk Śivaloka sebagai lambang kerahayuan.
Cara berbhakti kepeda Deva Śiva ialah dengan mengendalikan diri. Ini dilambangkan dengan melek (Jagra), berpuasa (upawasa) dan tidak bicara (monabrata). Andai kata Lubdaka tidak mampu mengendalikan dirinya pada waktu di dahan kayu di dalam hutan ia akan jatuh dimakan binatang buas. Ia mampu menahan kantuk, berdiam diri, tidak berkata hingga ia lolos dari bahaya gelap waktu malam pekat itu.
Mungkin saja kita ini Lubdaka-Lubdaka pula yang sedang menghadapi gelap kehidupan ini. Bila kita dapat mengendalikan diri dalam mengarungi kehidupan ini mungkin kita akan dapat melepaskan diri dari kegelapan ini.
Keutamaan Brata Śivarātri dalam Kakawin Śivarātrikalpa (34.4)
Tuhun kalěwihing bratanajarakěn mami niyata maweh phalādhika,
Tuwin milangakěn saduskṛta těhěr masung atiśaya bhoga bhāgya len,
Awas tan angusir yamaṇḍa phalaning jana gumayakěn tikang brata,
Sapāpa nika śirna den i phalaning brata winuwusakěnku tan salah.
(Sungguh utama brata yang aku ajarkan dan pasti akan mendatangkan pahala yang utama;
Juga menghilangkan segala perbuatan yang tidak baik lalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup;  Setiap orang yang melaksanakan brata tersebut pasti tidak akan menemukan sengsara; Semua penderitaannya lenyap dikarenakan oleh pahala dari brata Śvarātri yang aku ajarkan)
Semoga bermanfaat,
Rahayu nyanggra Śivarārti, 26-01-2017
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ.

Sumber: Prof. Made Surada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar