Rabu, 25 Januari 2017

Alasan Mengapa Warga Pande Tidak Boleh Memakan Ikan Gabus (Be Jeleg)?



Sameton Pande pasti sudah banyak yang tau kalau warga Pande tidak dizinkan memakan daging ikan jeleg/deleg (ikan gabus). Tapi apakah setiap keluarga yang melarang keluarganya memakan be jeleg menjelaskan kenapa warih Pande tidak diperkenankan memakan ikan jeleg? Seperti kami sendiri, banyak yang orang tua kami yang sama seperti kami, "Nak keto pabesen lingsir-lingsire pidan, jeg tuutin da bana nglawan, nyanan kena pamastu!," begitulah orangtua sering mengatakan karena ketidak tahuannya dan kami pun mengikutinya. Namun di zaman sekarang, anak muda yang enerjik dan penuh rasa ingin tahu tak cukup diberikan jawaban "nak mula keto", mereka selalu ingin mencari jawaban atas segala pertanyaan di otaknya agar tidak selalu terkukung oleh dogma nak mula keto.

Lalu kenapa Warga Pande tidak boleh makan be jeleg? Sebenarnya larangan ini ada dalam salah satu bhisama Warga Pande yaitu pada larangan Asta Candala. Beginilah ceritanya :

Pada tahun 1556 Masehi, ketika terjadi pembrontakan atas pemerintahan Dalem Bekung yang dilakukan oleh Arya Batan Jeruk ( keturunan arya kepakisan ) sehingga Arya Batan duanggap Angesti Muji Dadia Sang Prabu. (bercita-cita ingin menjadi Raja).

Akhirnya Arya Batan Jeruk tewas setelah di kejar sampai Bonganya, Karangasem. Pembrontakan selanjutnya dilakukan oleh Kyayi Pande Bhasa, yang terlibat pembrontakan ini dalah Keluarga Pande Capung yang didukung keluarga besar. Kerajaan Gelgel terpecah belah terutama keturunan Majapahit. Mereka menegaskan jati diri, karena ada unsur saling curiga. Para Pasek dan Pande mebantu penguasa yang dekat sama mereka.
Ketika pembrontakan dapat di padamkan yang memihak raja tetap tinggal di Gelgel dan yang memihak para pembrontak mengungsi dan menyelamatkan diri. Karena keterlibatan para Pande terutama di Klungkung. Sewaktu-waktu para Pande dapat terbunuh.

Sang Bhagawan sebagai penasehat Raja bercerita kepada Raja bahwa Penyebab Kekacauan yang merajarela adalah Sira Pande, "nak I Pande sane ngaryanin Sanjata nu idup, ipun sane ngranayang wenten perang, yen I Pande ten wenten, sinah ten wenten perang". Menurut Bhagawan Sira Pande yang membuat senjata ke sana ke mari dan meyakinkan raja bahwa Sira Pande menyebabkan hal itu dan menyarankan membunuh semua Pande sampai habis karena jadi biang keladi. 

Ida Dalem menerima saran dari sang bhagawan dan memerintahkan membunuh seluruh Warga Pande baik yang kecil, bayi, muda, tua tanpa pri kemanusiaan. Sehingga banyak warga Pande yang kalang kabut dikejar-kejar oleh pasukan kerajaan, bahkan rela nyineb wangsa, menghilangkan nama Pande dan tidak mengaku sebagai warga Pande agar bisa bertahan hidup. I Pande yang tak mau meninggalkan leluhur dan tetap mengaku sebagai  Warga Pande terus berlarian bersembunyi dari orang-orang yang memburu I Pande. Satu per satu mereka ditemukan dan dibunuh.

Tetapi atas perlindungan Ida Ratu Bagus Pande ada seorang warga Pande masih hidup. Warga pande itu dilindungi dan di sembunyikan oleh Jangga Wadita (be jeleg) di bawah air terjun di Sawah Gambangan. Orang yang memburu warga Pande itu berpikir tidak mungkin si Pande bersembunyi di telaga itu. Ikan yang ada di telaga itu tidak beranjak pergi. Jika air terjun ini menjadi persembunyian si Pande sudah pasti ikan Gabus yang mengambang di telaga ini akan pergi dan gelombang air pun tidak ada sama sekali. Dengan mengalami kejadian itu si Pande bersumpah sampai keturunannya tidak akan memakan ikan Gabus. Itulah sedikit sejarahnya kenapa kita dilarang memakan "BE JELEG" atau IKAN GABUS.

Sumber: http://pandetamanbali.blogspot.co.id 

Senin, 23 Januari 2017

Perayaan Siwaratri

Oṁ Swastyastu,
Perayaan Śiwarātri
Śivarātri artinya malam Śiva. Jatuh pada caturdasi Kṛṣṇapakṣa artinya panglong ping 14 sasih ke 7 sehari sebelum Tilem (bulan mati) pada bulan Magha, yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.
Sumber ajaran Śivarātri ada dalam Purana dan Lontar seperti Padma Purāṇa, Śiva Purāṇa, Skanda Purāṇa dan Garuda Purāṇa serta lontar-lontar seperti Śiva Rātrikalpa, Śivarātri Brata, Lontar Ajibrata, Lontar Puja Śivarātri, Lontar Tutur Śivarātri. Śiva Rātrikalpa satu-satunya kakawin yang di gubah oleh Mpu Tanakung yang secara gamblang memberikan keterangan tentang Śivarātri di Indonesia, berdasarkan penelitian para akhli bahwa kakawin ini sangat dekat dengan Kitab Padma Purāṇa.
Brata Śivarātri ada tiga tingkat yaitu: (1) Utama, dengan melaksanakan: monobrata, upawasa dan jagra. (2) Madhyama, dengan melaksanakan: upawasa dan jagra. (3) Kanista,  dengan melaksanakan: hanya jagra. Upawasa artinya : berpuasa atau tidak makan, Monobrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara, dan Jagra artinya: berjaga atau tidak tidur. Daam petikan kakawin Úivaràtri jagra dilakukan selama 36 jam sedangkan upawasa dan monabrata dilakukan selama 24 jam mulai dari panglong ping 14 sampai pada pagi hari pada panglong ping 15.
Nilai Filosofis dari Lubdaka.
Jika disimak arti kata Lubdaka (pemburu) – berburu binatang (sattva). sattva (etimologis) - sat. “Sat” inti, hakekat, kebenaran, sedangkan kata “tva” berarti memiliki sifat.
Kita selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, kebajikan, sifat-sifat baik dan membunuh, nafsu angkara murka, sad ripu dan lain
Alat bebrburu panah, simbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran kita selalu berburu budhi sattwa. Agar kita mendapatkan budhi sattwam mesti kita mengendalikan indrianya (melupakan bekal makanan)
Pohon bilwa/bala (kekuatan alam/prana) disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra, simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan.
Duduk di cabang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi.
Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya pengetahuan spiritual.
Memetik daun bilwa, 108 yaitu memetik ajaran Siwa, untuk mengembangkan kesadaran. Kata ron, don, berarti daun, juga berarti tujuan.
Dengan demikian pelukisan dari puncak kejahatan yang ditampilkan melalui tokoh Lubdaka, (pemburu) merupakan gambaran esensi dari kesadaran tertinggi dan pada manusia untuk menemukan kembali hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Secara simbolik pada panglong ping 14 sasih Kapitu adalah merupakan puncak (central) dari peredaran masa (malam tergelap) si Lubdaka secara tidak sengaja telah melepaskan kebiasaannya untuk berbuat himsa (pembunuhan). Dengan demikian interpretatif menunjukan bahwa adanya pelukisan mengenai pertobatan pada puncak pelaku yang paling puncak.
Dalam buana alit dikenal dengan peteng pitu (sapta timira), yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian (Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).
Dalam ajaran Yoga Patañjali adalah bertujuan untuk mencapai Citta vretti niroddha untuk mencapai tingkat samàdhi yang paling tinggi yaitu asamprajñāta samādhi atau nirbija samādhi. Untuk mencapai citta vretti niroddha yaitu menghentikan goncangan-goncangan pikiran menurut Ṛsi Patañjali hendaknya dimulai dari aṣṭangga yoga yaitu :  Yama, Nyama, Asana, Pràóayama, Pratayahāra, Dhārāna Dhyāna dan samādhi. Pada tingkat samādhi yang paling tinggi nirbija samādhi semua karma akan terbebas dan terbakar habis dan jīva akan mencapai kelepasan. (Yoga Pantañjali).
Penjelasan lain juga terdapat Wrehasparti tattwa antara lain sebagai berikut : apabila samādhi sang Yogiswara telah mencapai puncaknya, maka terbakarlah tattwa sampai kepada Tri guna tattwa. Itulah sedikit makna dalam brata Śivarātri.
Berburu binatang di hutan bila kita refleksikan dengan ajaran yoga, berburu untuk melenyapkan atau mengendalikan sifat rajas, yang dilambangkan dengan warna merah (kemarahan/emosional) dan hitam atau gelap (sebagai lambang kebodohan atau kemalasan), sedang sattwam dilambangkan dengan warna putih. Untuk menemukan warna putih sebagai wujud kesucian, maka kegelapan dan keangkeran atau sapta timira dalam diri mesti dihapuskan dan bila hal ini terjadi, maka cinta kasih dari Hyang Widhi, akan dapat kita wujudkan. Seperti bayangan bulan akan tampak dalam periuk yang berisi air yang bersih, jernih dan suci. (Arjuna Wiwaha).
Kehidupan ini kita bagaikan segelas air yang jernih, karma-karma buruk yang telah menodainya, yang dapat kita umpamakan sebagai setetes tinta yang jatuh ke dalam gelas yang berisi air yang jernih, maka merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan untuk menjernihkan kembali air yang ada dalam gelas yang telah ternoda tersebut. Ada pun mungkin jalan yang terbaik adalah dengan mengganti gelas yang lebih besar lalu dengan menuangkan air yang sebanyak-banyaknya lagi, sehingga pada saatnya air itu akan menjadi jernih kembali. Karma-karma yang buruk hanya dapat dinetralisasi dengan berbuatan yang baik sebanyak-banyaknya.
Pada malam hari panglong ping 14 Deva Śiva menurunkan ajaran yang bernama Barata Śivarātri yang memberikan pahala yang mulia.
MpuTanakung menuliskan ---,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji.
Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa (menyebut nama Tuhan berkali-kali),
Dalam Kakawin Nitisastra disebutkan “Tan hana satru manglewihaning hana geleng ri hati” artinya : tidak ada musuh yang melebihi musuh yang menyelinap dalam hati. Manusia tidak ada yang mutlak baik atau mutlak jelek, hal ini diungkap oleh ajaran Sāmkhya Yoga yang direkonstruksi dalam lontar Wrehaspati Tattwa dalam versi yang berbeda, namun tetap dikembangkan dalam satu konsepsi yang sama.
Menurut pendapat saya Lubdaka adalah lambang orang yang bhakti kepada Deva Śiva, walaupun bhaktinya tidak sengaja dengan banyak dosanya tapi ia masuk Śivaloka pula. Ini rupanya melambangkan bahwa sehina-hina manusia asal mau memperbaiki diri dengan mengikuti ajaran deva Śiva akan masuk Śivaloka. Yang hina saja dapat masuk Śivaloka apalagi yang bhakti kepadaNya dengan mulus masuk Śivaloka sebagai lambang kerahayuan.
Cara berbhakti kepeda Deva Śiva ialah dengan mengendalikan diri. Ini dilambangkan dengan melek (Jagra), berpuasa (upawasa) dan tidak bicara (monabrata). Andai kata Lubdaka tidak mampu mengendalikan dirinya pada waktu di dahan kayu di dalam hutan ia akan jatuh dimakan binatang buas. Ia mampu menahan kantuk, berdiam diri, tidak berkata hingga ia lolos dari bahaya gelap waktu malam pekat itu.
Mungkin saja kita ini Lubdaka-Lubdaka pula yang sedang menghadapi gelap kehidupan ini. Bila kita dapat mengendalikan diri dalam mengarungi kehidupan ini mungkin kita akan dapat melepaskan diri dari kegelapan ini.
Keutamaan Brata Śivarātri dalam Kakawin Śivarātrikalpa (34.4)
Tuhun kalěwihing bratanajarakěn mami niyata maweh phalādhika,
Tuwin milangakěn saduskṛta těhěr masung atiśaya bhoga bhāgya len,
Awas tan angusir yamaṇḍa phalaning jana gumayakěn tikang brata,
Sapāpa nika śirna den i phalaning brata winuwusakěnku tan salah.
(Sungguh utama brata yang aku ajarkan dan pasti akan mendatangkan pahala yang utama;
Juga menghilangkan segala perbuatan yang tidak baik lalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup;  Setiap orang yang melaksanakan brata tersebut pasti tidak akan menemukan sengsara; Semua penderitaannya lenyap dikarenakan oleh pahala dari brata Śvarātri yang aku ajarkan)
Semoga bermanfaat,
Rahayu nyanggra Śivarārti, 26-01-2017
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ.

Sumber: Prof. Made Surada

Minggu, 01 Januari 2017

Kenapa Cicak Disimbolkan Sebagai Ilmu Pengetahuan Menurut Hindu

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?
Jika umat Hindu di Bali ketika sedang ngobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, “Pakulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati”. Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?
Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.
Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melakukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.
Akśara  Bali
Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu Akśara  Bali. Akśara  Bali terbagi atas Akśara  biasa dan Akśara  suci. Akśara  biasa terdiri atas Akśara  wreastra – Akśara  yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 Akśara, misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan Akśara  swalalita atau Akśara  yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 Akśara , misalnya: a, i, u, e, o.
Akśara  suci terbagi atas Akśara  wijākśara  atau bijākśara  (Akśara  swalalita + Akśara  aṁsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau Akśara  lukisan magis. Akśara aṁsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti; utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wiṣṇu dengan simbol air dan Dewa Śiwa atau Īswara dengan lambang udara. Akśara  aṁsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.
Selain itu, dalam Akśara  Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah Akśara  wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah Akśara ) atau gempelan (digabungkan dengan Akśara  didepannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan Akśara  mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai Akśara  biasa atau ma dengan aṁsa sebagai Akśara  wijākśara /bijākśara .
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan Akśara  aṁsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau Akśara  aṁsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wiṣṇu, Śiwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau aṁsa, yang bunyinya ng .
Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecakyang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan Akśara  Aṁsa yang berbunyi “ng”. Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wiṣṇu, Śiwa) umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Sekali lagi, ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Aṁsa, yang bunyinya “ng” (……..).

Sumber: Dharmagiriutama, phdi